REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran mengklaim Garda Pengawal Revolusi Islam (IRGC) menggagalkan rencana Israel untuk menyabotase fasilitas pengayaan uranium Fordow. Laporan televisi pemerintah Iran yang disiarkan pada Senin (14/3) malam, mengatakan, serangan diduga melibatkan agen Israel yang mencoba mendekati seorang pekerja yang mengoperasikan sentrifugal IR-6 di fasilitas tersebut.
Dilansir Aljazirah, Selasa (15/3), agen tersebut diberikan jalur komunikasi yang aman dan menerima bayaran secara tunai, serta cryptocurrency. Dia mencoba mendekati karyawan pabrik menggunakan kontak di perusahaan Hong Kong yang tidak disebutkan namanya, sebagai mediator.
Komando Nuklir IRGC telah mengetahui plot tersebut dan berhasil menggagalkannya.
Pada 2018 mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik diri dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), atau dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, dan menjatuhkan sanksi kepada Teheran. Setahun setelah AS menarik diri, Iran mulai secara bertahap meningkatkan pengayaan uranium dan mengabaikan pembatasan aktivitas nuklirnya yang disepakati berdasarkan JCPOA.
Sejak Iran mulai meningkatkan pengayaan uranium, fasilitas nuklir utamanya di Natanz menjadi sasaran dua serangan sabotase terpisah pada Juli 2020 dan April 2021. Selain itu, ilmuwan nuklir senior Mohsen Fakhrizadeh dibunuh di dekat Teheran pada November 2020. Iran menduga sabotase tersebut dilakukan oleh Israel.
Iran sekarang memperkaya uranium hingga 60 persen atau mencapai tingkat tertinggi yang pernah ada. Iran memperkaya uranium dengan menggunakan sentrifugal canggih, termasuk model IR-6. Teheran menyatakan bahwa program nuklirnya digunakan untuk tujuan damai.
Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, AS ingin kembali bergabung dalam JCPOA. Namun AS mengisyaratkan agar Iran menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya, dan mematuhi kesepakatan JCPOA. Di sisi lain, Iran menuntut agar AS mencabut semua sanksi yang telah melumpuhkan perekonomian. Amerika Serikat bersama Iran dan enam kekuatan dunia sedang merundingkan hal tersebut di Wina.
Israel menentang AS untuk kembali menghidupkan kesepakatan JCPOA. Mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali bahwa kesepakatan nuklir tidak boleh dipulihkan karena sangat berbahaya.
"Sangat berbahaya untuk menghidupkan lagi kesepakatan nuklir dengan Iran," kata Netanyahu.