REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Fara Faraj, seoarang pemuda dari Lebanon percaya kuliah akan membantunya keluar dari rumah keluarganya yang sempit di daerah miskin Beirut serta mandiri secara finansial. Namun sebaliknya, kenaikan jumlah anak muda di Lebanon kemudian membuat harga barang kebutuhan naik.
Pemuda 19 tahun itu pun putus sekolah lebih dari setahun yang lalu. "Saya tidak memiliki anggota keluarga yang dapat membantu saya menyelesaikan sekolah saya, dan saya tidak punya pekerjaan," ujarnya, Ahad (13/3/2022).
Dia menambahkan meskipun berada di sekolah negeri, biaya transportasi semakin sulit ditanggung. Menurut laporan PBB yang dirilis pada Januari lalu, 30 persen anak-anak Lebanon yang berusia 15-24 tahun putus sekolah.
Menurut laporan itu, lebih banyak anak muda yang melewatkan makan dan mengurangi perawatan kesehatan. Faraj, mempunyai keluarga yang terdiri atas orang tuanya, dua saudara lelaki yang menganggur, dan dua adik perempuan yang masih bersekolah.
Mereka berbagi dua kamar di sebuah apartemen sempit di Borj Hammoud, pinggiran kota Beirut dengan jalan-jalan sempit dan padat yang dirusak oleh ledakan besar di dekat pelabuhan kota pada 2020. Menurut World Bank, pandemi virus corona dan bom pelabuhan, yang meninggalkan bekas luka di garis pantai Beirut, memperburuk salah satu bencana ekonomi terbesar sejak pertengahan abad kesembilan belas.
Terlepas dari kenyataan elite kaya masih sering mengunjungi bar dan kafe distrik mewah, kemiskinan meningkat 80 persen. Banyak orang tidak mampu membeli makanan dan obat-obatan.