REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Sejak awal, Jepang sudah mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Tokyo juga memberlakukan sanksi pada pejabat dan oligarki Rusia.
Tapi menurut para pakar tujuan sikap tegas Jepang pada Rusia sebenarnya ditujukan pada China. Pakar hubungan dan keamanan internasional National Graduate Institute of Policy Studies Yoko Iwama mengatakan dukungan Jepang pada Ukraina memiliki dua tujuan.
"Tujuan respons Jepang adalah mengirim pesan kami akan siap dan kami akan melawan bila ada invasi (ke wilayah Jepang), kami tidak akan membiarkan perbatasan kami diubah dengan paksa," kata Iwama seperti dikutip dari CNN Internasional, Selasa (15/3/2022).
"Kami tidak ingin perang sungguh, tujuannya adalah politik, China yang dibujuk dari tindakan agresif seperti yang diambil (Presiden Rusia Vladimir) Putin dalam beberapa hari dan pekan terakhir," tambah Iwama.
Hubungan dengan China yang mendorong mantan Perdana Menteri Shinzo Abe mengungkapkan gagasan Jepang bergabung dengan program berbagi senjata nuklir seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan menampung senjata nuklir Amerika Serikat (AS) di Jepang.
Pernyataan ini cukup mengejutkan pasalnya Jepang kalah Perang Dunia II karena dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi menurut Abe gagasannya seharusnya tidak lagi tabu.
Respons Jepang terhadap invasi Rusia ke Ukraina berbeda dibanding saat Moskow menganeksasi Crimea tahun 2014 lalu. Saat itu Jepang yang masih dipimpin Abe dikritik terlalu lambat bertindak. Kini strategi Jepang sudah berubah sebab faktor urgensinya semakin besar.
Profesor ilmu politik Tample University di Tokyo, James Brown mengatakan pada tahun 2014 lalu Abe mengadopsi untuk mendekati Rusia demi mencegah Moskow memperkuat hubungan dengan China. Rusia kemudian menganeksasi Crimea dengan mengirimkan pasukan bersenjata ke fasilitas-fasilitas penting dan mendukung separatis.
Peneliti senior kajian Asia-Pasifik, Council on Foreign Relations Sheila Smith mengatakan awalnya Tokyo memperlakukan aneksasi Rusia di Crimea sebagai isu Barat.
"(Pemerintah Jepang) memperlakukannya ini isu yang dihadapi orang-orang Eropa dan Amerika; tidak terlalu tentang Jepang, tapi mereka mengikutinya," kata Smith.
Ia mengatakan Abe berharap dengan mendekati Putin maka akan menormalisasi hubungan Rusia-Jepang untuk mengakhiri sengketa sejarah Perang Dunia II. Tapi sikap ramah Jepang menuai kritikan negara Barat.
Tokyo akhirnya ikut memberlakukan sanksi pada Rusia termasuk langkah diplomatik. Seperti menangguhkan pembicaraan tentang pelonggaran persyaratan visa, melarang kunjungan dan membekukan aset sejumlah individu.
Tapi, kata Brown, skala dan kengerian krisis Ukraina menjaga Jepang mempertahankan pesan persatuannya dengan mitra-mitra G7 untuk menunjukkan diri sebagai "mitra terpercaya."
"Anda mendengarnya berkali-kali pemerintah mengatakan 'bersama dengan mitra G7 dan internasional lainnya, kami akan mengkoordinasikan langkah yang lebih tegas pada isu ini' mereka tidak ingin terlihat melangkah terlalu jauh," kata Brown.
Jepang membutuhkan dukungan G7 terutama dari AS untuk menahan setiap pergerakan Beijing pada Taiwan. Pulau demokratis yang Cina klaim bagian dari wilayahnya.
Pekan lalu Jepang menambah sanksi pada Rusia dan sekutunya Belarusia. Tokyo membekukan aset sekitar 32 pejabat dan oligarki Rusia dan Belarusia. Langkah yang jarang Jepang lakukan. Mereka juga meninjau pedoman untuk mengirimkan peralatan pertahanan ke luar negeri, membuka jalan untuk mengirim rompi-anti peluru dan helm ke Ukraina.
Tokyo bergabung dengan ikut memotong akses Rusia ke sistem pembayaran global SWIFT. Serta membekukan aset-aset Putin.
Pakar mengatakan Jepang ingin mempertahankan sekutu-sekutu internasionalnya dalam menghadapi tragedi kemanusiaan dan meningkatnya kehadiran militer Cina.