REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagian kalangan berpendapat negara tidak boleh urus soal perzinaan di masyarakat. Hal ini karena perzinaan, oleh kalangan tersebut diklaim sebagai urusan pribadi. Benarkah demikian?
Saat menyampaikan materi, dalam yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslimk se- Indonesia (ICMI) dengan tema "Zina, LGBT, dan Ketahanan Keluarga, akhir pekan lalu, Ketua Aliansi Cinta Keluarga, Rita Hendrawaty Soebagio, mengatakan negara tidak sedang mengurusi ranah privat lagi jika normalisasi zina dan LGBT sudah menjadi gerakan politik dan merugikan masyarakat dengan penyakit-penyakitnya hingga terjadi masalah sosial.
"Jika normalisasi zina dan LGBT semakin meluas maka hal ini sudah masuk menjadi ranah publik karena saat itu negara harus menanggung ongkos sosial akibat pergaulan bebas, aids, aborsi, tenaga kerja yang tidak produktif dan sebagainya," ujar Rita.
Pasal Kesusilaan terkait perluasan makna 284 KUHP ), Pemerkosaan ( Pasal 285 KUHP ) yang merupakan pasal-pasal yang amat mengancam ketahanan keluarga di Indonesia sehingga pada akhirnya mengancam Ketahanan Nasional justru tidak pernah menjadi pembahasan serius oleh otoritas pembuat kebijakan keluarga.
Padahal, menurut Rita, perzinaan merupakan salah satu biang keladi kehancuran masa depan generasi muda dan menambah problem keluarga dan masyarakat baik pada keluarga induk, maupun keluarga baru yang terbentuk akibat perzinaan.
Dia mengingatkan zina akan berdampak besar dalam pembentukan institusi keluarga. Hal ini dikarenakan gaya hidup seks bebas yang berdampak pada keengganan generasi muda untuk menikah dengan cara yang baik dan benar.
Perilaku zina, kata Rita, bukan saja dapat mengacaukan pertumbuhan demografi Indonesia, melainkan juga akan mengurangi kualitas keluarga Indonesia karena terjalin hubungan sosial, psikologis, dan biologis yang tidak didasari oleh pernikahan yang sah sehingga rentan atas kekerasan, ketidaksetiaan, dan berujung pada ketidakjelasan tujuan dari hubungan perkawinan itu sendiri yang berakibat rapuhnya institusi keluarga sehingga pada akhirnya merapuhkan ketahanan nasional.
Dia menjelaskan, berbagai aktivitas kejahatan seksual (jarimah) yang mengganggu upaya melindungi ketahanan keluarga sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai moral berdasarkan agama dan " living law " harus diatur melalui kebijakan perundangan yang komprehensif.
Rita mengatakan, UUD 45 menjamin bahwa tidak ada ruang kebebasan absolut seseorang bertindak berdasarkan kehendaknya semata terlebih-lebih perbuatan tersebut mereduksi, mempersempit, melampuai batas bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sinar ketuhanan.
“Negara harus menjadi penjamin hadirnya jati diri bangsa yang sesuai dengan UUD 45 di mana Freedom of Religion dijamin negara dan bukan menyuburkan hadirnya Freedom from Religion,” kata dia.