REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Selasa (15/3/2022) mengatakan, Moskow telah menerima jaminan secara tertulis dari Washington agar tetap menjalankan kegiatan ekonomi dengan Iran. Jaminan ini sebagai bagian dari pembicaraan yang sedang berlangsung di Wina, Austria untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran atau Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).
"Kami menerima jaminan tertulis. Jaminan itu termasuk dalam teks perjanjian tentang dimulainya kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan pada program nuklir Iran," kata Lavrov, dilansir Alarabiya, Rabu (16/3/2022).
Rusia merupakan salah satu peserta dalam pembicaraan JCPOA bersama Iran, China, Inggris, Prancis, dan Jerman. Sementara Amerika Serikat (AS) berpartisipasi secara tidak langsung dalam pembicaraan tersebut, karena Teheran menolak untuk bernegosiasi langsung dengan Washington.
Pembicaraan di Wina dihentikan pekan lalu karena permintaan Rusia. Jeda itu terjadi beberapa hari setelah Moskow menginginkan jaminan tertulis dari Washington. Moskow minta Washington menjamin kerja sama ekonomi dan militer antara Rusia dengan Iran tidak akan dirugikan sanksi Barat yang dijatuhkan atas invasi ke Ukraina.
Lavrov mengatakan, jaminan tertulis dari Washington akan melindungi keterlibatan Rusia di satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr, Iran. Lavrov mengatakan, Moskow dan Teheran memiliki posisi yang sama yaitu mendapatkan sanksi dari Barat.
Sebelumnya Inggris, Prancis, dan Jerman memperingatkan Rusia bahwa tuntutannya berisiko mengagalkan kesepakatan JCPOA. “Tidak ada yang harus berusaha mengeksploitasi negosiasi JCPOA untuk mendapatkan jaminan yang terpisah dari JCPOA,” kata Prancis, Inggris, dan Jerman dalam sebuah pernyataan bersama.
AS telah menolak tuntutan Rusia karena dinilai tidak relevan. AS mengatakan, sanksi terhadap Moskow atas invasinya ke Ukraina tidak terkait dengan kesepakatan nuklir Iran.
Iran memandang Rusia sebagai sekutu strategis. Sejauh ini para pejabat Iran bmenahan diri untuk tidak mengkritik Moskow atas jeda dalam pembicaraan nuklir. Sebaliknya, Iran justru menyalahkan AS terkait jeda pembicaraan tersebut.
Pembicaraan di Wina dimulai pada April 2021. Pembicaraan ini bertujuan untuk membawa Iran kembali mematuhi kesepakatan JCPOA, dan memfasilitasi kembalinya AS ke kesepakatan tersebut. Kesepakatan itu menawarkan keringanan sanksi Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya.
Pada 2018 mantan presiden AS Donald Trump menarik diri dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), atau dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran, dan menjatuhkan sanksi kepada Teheran. Setahun setelah AS menarik diri, Iran mulai secara bertahap meningkatkan pengayaan uranium dan mengabaikan pembatasan aktivitas nuklirnya yang disepakati berdasarkan JCPOA.
Baca juga : Rusia Mundur dari Dewan Eropa
Sejak Iran mulai meningkatkan pengayaan uranium, fasilitas nuklir utamanya di Natanz menjadi sasaran dua serangan sabotase terpisah pada Juli 2020 dan April 2021. Selain itu, ilmuwan nuklir senior Mohsen Fakhrizadeh dibunuh di dekat Teheran pada November 2020. Iran menduga sabotase tersebut dilakukan oleh Israel.
Iran sekarang memperkaya uranium hingga 60 persen atau mencapai tingkat tertinggi yang pernah ada. Iran memperkaya uranium dengan menggunakan sentrifugal canggih, termasuk model IR-6. Teheran menyatakan bahwa, program nuklirnya digunakan untuk tujuan damai.
Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, AS ingin kembali bergabung dalam JCPOA. Namun AS mengisyaratkan agar Iran menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya, dan mematuhi kesepakatan JCPOA. Di sisi lain, Iran menuntut agar AS mencabut semua sanksi yang telah melumpuhkan perekonomian. Amerika Serikat bersama Iran dan enam kekuatan dunia sedang merundingkan hal tersebut di Wina.
Baca juga : Ibu Kota Baru yang Dikelilingi Hutan