REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Akhir Februari lalu, sebuah ledakan mengguncangkan Wakil Menteri Transformasi Digital Ukraina Alex Bornyakov dari tidurnya pada pukul 06.00 pagi waktu setempat. Selama dua hari kemudian Ukraina mengalami marathon sirene dan penembakan di tempat perlindungan bom di ibu kota Kiev.
Invasi yang datang dari Rusia mengubah pekerjaan Bornyakov dalam semalam. Sebelumnya, ia membina pusat teknologi bergaya Silicon Valley dan bekerja untuk meningkatkan literasi digital.
Sekarang, ia harus berfokus mempertahankan infrastruktur telekomunikasi negara dari pemboman Rusia. Sejak itu, ia pindah ke lokasi yang dirahasiakan di dalam negeri yang jauh dari zona perang.
“Bahkan, di sini, terkadang ada sirine sehingga kami harus pergi dan bersembunyi. Tapi tenang, kami baik-baik saja,” kata Bornyakov dalam sebuah wawancara melalui Zoom.
Beberapa hari setelah invasi dimulai, Wakil Perdana Menteri Ukraina Mykhailo Federov menugaskan Bornyakov untuk menyiapkan dana dan menerbitkan informasi di Twitter. Hasilnya cukup mengejutkan dengan dukungan dari warganet dari seluruh dunia. Pemerintah berhasil mengumpulkan dana sekitar 53 juta dolar AS dalam bentuk uang kripto.
Tidak seperti mata uang tradisional, mata uang kripto, seperti bitcoin, ether, dan tether mudah dipindahkan dan tidak didukung oleh komoditas. Terlebih, transfer mata uang kripto membutuhkan waktu beberapa menit. Kecepatan itu menjadi kunci untuk mengubah dana tersebut memenuhi kebutuhan perang, seperti peluru, helm, kacamata penglihatan malam, pasokan medis, dan jatah makanan.
Misi lain selain kripto
Selain kripto, Bornyakov juga memaparkan visinya tentang pendistribusian non fungible token (NFT) atau token yang tidak dapat dipertukarkan untuk mengumpulkan uang tambahan. Ukraina berencana untuk membuat semacam museum perang yang terdiri dari berita harian yang dikombinasikan dengan seni, video, atau media lain yang akan menjadi NFT.
NFT yang merupakan token yang direkam pada blockchain, akan dijual kepada pendukung. Bornyakov menyebut pemboman Rusia terhadap bangsal bersalin di kota Mariupol, Ukraina selatan sebagai momen yang dapat dikenang sebagai NFT.
“Dengan cara ini kita tidak pernah melupakan apa yang terjadi,” ujarnya.
Selain itu, Ukraina juga disebut proaktif meminta pertukaran kripto untuk memotong pelanggan Rusia. Namun, hal itu ditolak. Pertukaran mengatakan pihaknya harus mengikuti hukum dan tidak ingin memotong pelanggan Rusia.
Tentara IT Ukraina
Menurut Bornyakov, Ukraina memiliki basis pekerja teknologi yang kuat dengan ratusan ribu dipekerjakan oleh perusahaan Fortune 500. Jadi ketika invasi dimulai, pemerintah dibanjiri permintaan dari pekerja IT yang akan memberikan bantuan.
Di bawah inisiatif dari Federov, pemerintah membuat saluran Telegram dengan daftar tugas yang diprioritaskan untuk siapa saja yang paham teknis. Penugasan sering melibatkan serangan terorganisir yang dirancang untuk membuat situs Rusia offline.
Dilansir CNet, Rabu (16/3/2022), Bornyakov mengatakan di antara target termasuk bursa saham dan layanan pemerintah Rusia, serta infrastruktur digitalnya. Dia mencatat saat ini ada 300 ribu orang telah bergabung dengan tentara digital.
Sebagian besar tentara IT merupakan orang Ukraina tetapi ada juga orang dan organisasi lain dari seluruh dunia. “Sampai sekarang, mereka masih aktif,” tambahnya.