Rabu 16 Mar 2022 15:38 WIB

Kekhawatiran KPU Dirusak demi Memuluskan Skenario Penundaan Pemilu

KPU harus menyampaikan komitmen untuk tetap melaksanakan Pemilu 2024 kepada publik.

Komisi Pemilihan Umum (ilustrasi).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Komisi Pemilihan Umum (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Febrianto Adi Saputro

Sebagian kalangan mengkhawatirkan diciptakannya kondisi seakan-akan objektif, rasional, dan konstitusional demi memuluskan wacana penundaan pemilu. Salah satunya, dengan dirusaknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga tidak mampu lagi menyelenggarakan Pemilu 2024.

Baca Juga

 

"Saya agak khawatir sebenarnya dengan ide misalnya KPU yang dirusak. Kalau KPU misalnya tiba-tiba entah rusak atau merusak dirinya, atau apa pun, lalu kemudian dia bisa menunda atau kemudian misalnya menyerah tidak akan melanjutkan proses tahapan atau tidak akan melanjutkan proses pemilu dengan seketika seakan-akan tercipta alasan objektif, rasional, dan konstitusional untuk mengubah Pasal 22E (UUD NRI 1945)," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi daring bertajuk Demokrasi Konstitusional dalam Ancaman, Rabu (16/3/2022).

Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 menyebutkan, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD, dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Namun, kata Zainal, skenario tersebut memang tidak sederhana. Tentu harus ada alasan yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kenapa KPU tiba-tiba bisa menunda pemilu.

Dia menegaskan, komitmen terhadap demokrasi dan konstitusi tidak hanya ditagih kepada presiden, DPR, MPR, serta DPD, melainkan juga kepada KPU. Menurutnya, KPU harus menyampaikan komitmen kuat untuk tetap melaksanakan Pemilu 2024 kepada publik.

"Karena yang bisa menjadi terciptanya alasan objektif, rasional, konstitusional itu salah satunya adalah KPU," kata Zainal.

Dalam diskusi yang sama, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia mengatakan, alasan menunda pemilu karena pandemi tidak bisa diterima. Mengutip data International IDEA, dia menyebutkan, saat ini sudah tidak ada lagi negara yang menunda pemilu karena alasan Covid-19.

"Di akhir 2021 itu sudah tidak ada lagi negara yang menunda pemilunya karena alasan pandemi," ujar Amalia.

Hanya dua negara yang menunda pemilunya pada Agustus 2021. Sementara, pada bulan berikutnya dan seterusnya hingga kini sudah tidak ada lagi negara yang menunda pemilu karena pandemi.

Amalia melanjutkan, pemilu yang banyak ditunda pun adalah pemilu lokal, bukan pemilu nasional. Sebab, untuk menunda pemilu nasional, negara perlu memperhatikan konstitusi yang mengatur penundaan pemilu di masa darurat.

 

"Misalnya pemilu yang ditunda itu bisanya berapa bulan. Walaupun ada kasus Inggris, memang Inggris itu menundanya satu tahun, tetapi yang ditunda itu adalah pemilu lokalnya. Itu pun dia melihat bagaimana konstitusi, bagaimana Undang-Undang mengaturnya," kata dia.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement