REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perempuan dan anak perempuan membayar harga tertinggi dalam semua krisis dan konflik. Direktur Eksekutif untuk UN Women Sima Bahous mengatakan pada sesi pembukaan pertemuan tahunan Komisi Status Perempuan bahwa setiap hari perang merusak kehidupan, harapan, dan masa depan perempuan serta anak perempuan Ukraina.
Bahous tidak hanya merujuk pada Ukraina, perang-perang yang terjadi sebelumnya dari Myanmar dan Afghanistan hingga Sahel dan Haiti membuat perempuan menjadi korban terburuk. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang sudah tertinggal, perempuan sebagai kepala rumah tangga, perempuan pedesaan, gadis-gadis muda yang bolos sekolah karena harus berjalan lebih jauh untuk mengambil air di musim kemarau. Ada juga perempuan yang tidak bisa mengakses tanah, perempuan yang lebih tua, dan perempuan tanpa akses ke keuangan.
Keresahan itu akan menjadi prioritas pertemuan UN Women selama dua minggu tahun ini. Acara tersebut akan membahas pemberdayaan perempuan dalam menghadapi perubahan iklim. Sesi tatap muka pertama Komisi Status Perempuan diadakan pertama kali dalam tiga tahun setelah pandemi Covid-19.
Ketua Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan Gladys Acosta Vargas mengatakan, perang di Ukraina telah mempengaruhi warga sipil, termasuk sejumlah besar pengungsi perempuan dan anak-anak. Mereka terpaksa meninggalkan orang yang dicintai. Dia mendesak upaya perdamaian yang menjamin perdamaian dengan partisipasi perempuan secara setara.
Selain itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan dunia masih didominasi laki-laki. "Hasil ribuan tahun patriarki yang mengecualikan perempuan dan mencegah suara mereka didengar," ujarnya.
Krisis iklim, polusi, penggurunan, hilangnya keanekaragaman hayati ditambah dengan pandemi Covid-19, dan dampak perang Ukraina serta konflik lainnya memengaruhi semua orang. Namun, menurut Guterres, perempuan dan anak perempuan menghadapi ancaman terbesar dan kerugian terdalam.
"Perempuan paling menderita ketika sumber daya alam lokal termasuk makanan dan air terancam, dan memiliki lebih sedikit cara untuk beradaptasi. Gizi, pendapatan, dan mata pencaharian petani perempuan secara tidak proporsional dipengaruhi oleh krisis lingkungan dan cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir," ujar Guterres.
Guterres mengatakan ada semakin banyak bukti yang menghubungkan pernikahan anak dan eksploitasi dengan krisis iklim. Ketika bencana iklim menyerang, sekarang dengan frekuensi yang meningkat, penelitian menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak memiliki kemungkinan 14 kali lebih besar untuk meninggal daripada laki-laki.
Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid mendesak sesi UN Women untuk menentang diskriminasi dan stereotip gender. "Aktivis iklim perempuan muda telah membantu memacu gerakan lingkungan global. Para pemimpin perempuan telah mempelopori kesepakatan iklim Paris (2015). Dan perempuan di negara berkembang mengubah komunitas mereka dengan mengadopsi praktik berkelanjutan," katanya.
Shahid menyerukan rezim pajak progresif dan penganggaran responsif gender yang meningkatkan hak ekonomi perempuan dan akses ke layanan publik sambil memperbaiki diskriminasi dan ketidaksetaraan. Dia mendesak perwakilan yang lebih besar bagi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam aksi iklim dan di tempat lain.
Dalam 76 tahun sejarah PBB, hanya empat perempuan yang menjabat selama satu tahun sebagai presiden Majelis Umum. Hingga saat ini tidak pernah ada seorang perempuan pun sebagai sekretaris jenderal PBB.
"Saya pribadi akan memimpin dari depan menyerukan sekretaris jenderal berikutnya untuk menjadi seorang wanita. Bergabunglah dengan saya dalam panggilan ini," kata Shahid.