Rabu 16 Mar 2022 16:11 WIB

Sistem Ketatanegaraan Saat ini Dinilai Buruk Bagi Demokrasi Indonesia

Usulan presiden tiga kali bagian dari produk tata negara yang buruk

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Ma
Foto: humas umj
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Ma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rekonstruksi sistem tata negara indondonesia sudah sepantasnya perlu dilakukan. Pasalnya output dari sistem ketatanegaraan saat ini dinilai buruk bagi perkembangan sistem demokrasi di Tanah Air.

Saat ini dinilai terjadi regresi luar biasa akibat dari sistem tata negara yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya. "Yang perlu direkonstruksi ada banyak hal terkait dengan politik, pemilu dan sistem kepartaian," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr Ma'mun Murod di sela diskusi Pra Muktamar Muhammadiyah Aisyiyah ke-48 di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rabu (16/3/2022). 

Baca Juga

Selain itu, rekruitmen penyelngara pemilu harus direknstruksi karena hal itu nyata dan terkait dengan kebobrokan sistem tata negara. Karena itu tak mengherankan bila produk perundangan yang dihasilkan banyak bertabrakan dengan rambu demokrasi. Misal demokrasi mempercayakan partisipasi publik, namun dalam pembuatan kebijakan partisipasi publik ditadakan. Misal Undang Undang IKN pembahasannya  singkat sehingga keterlibatan publik lemah. Udang Undang Omnibus Law, Minerba yang banyak melabrak demokrasi tapi tetap disahkan. Usulan presiden tiga periode juga bagian dari produk tata negara yang buruk dan perlu direkonstruksi.

Caranya melakukan rekonstruksi dapat dilakukan dengan memperbaiki  sistem pemilu. Saat ini sistem pemilu sangat liberal. Harusnya perlu dikembalikan sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. 

Pengamat politik dan hukum tata negara, Dr Refly Harun menilai  dimensi negara hukum itu banyak sekali dan intinya tentang pembagian kekuasaan. "Kalau kondisi negara sangat darurat pemilu bisa ditunda, kondisi force majeure," katanya.

Penundaan pemilu tidak bisa direkonstruksi melalui parpol lalu diupayakan penundaan pemilu. Itu bukan prinsip negara hukum tapi negara kekuasaan.  Perubahan konstitusi itu tidak boleh melanggar prinsip constitualism, harus tidak berlaku untuk the existing power.  Perubahan bisa objektif jika tidak menyangkut dengan kekuasaan sekarang. Negara hukum memang banyak problem karena menyangkut aktor, institusi, budaya dan lainnya. 

Dalam negara demokrasi wacana boleh saja tapi ada batasannya. Jadi kalau ada ide soal jabatan kepala negara hingga tiga periode kita debat dulu. Apakah institusi kita sudah solid untuk menegakkan role of law, secara formal sudah sempurna. " Tapi secara substansi belum sempurna. Terakhir sisi kultur politik, kultur politik kita masih sulit untuk menunjang tegaknya rule of law," kata Refly. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement