REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Kumandang adzan disiarkan di stasiun radio di seluruh Selandia Baru, Selasa (15/3/2022). Siaran adzan dilakukan untuk memperingati tragedi pembantaian Masjid Christchurch yang mengguncang negara itu pada 15 Maret 2019.
Menurut media lokal, berbagai stasiun radio menyiarkan adzan untuk sholat zhuhur pada pukul 13.39 waktu setempat. Penyiaran adzan itu dilakukan untuk memperingati tragedi ketika penganut supremasi kulit putih membunuh 51 orang dalam penembakan di dua masjid di Christchurch.
Dewan Kota Christchurch mendorong masyarakat mengambil momen singkat ini untuk mendengarkan dan merenungkan peristiwa menggemparkan di masa lalu tersebut. "Hari ini kita mengingat 51 nyawa yang hilang sebagai akibat dari salah satu hari tergelap kota kita tiga tahun lalu. Kepada semua orang yang terkena dampak kehilangan, cedera, dan kesedihan, Anda selamanya ada dalam benak kami," demikian cicitan Dewan Kota Christchurch di Twitter pada Selasa, dilansir di Al Araby, Rabu (16/3/2022).
Peristiwa pembantaian itu terjadi di Masjid Al Noor dan Pusat Islam Lindwood di kota Christchurch. Semua korban dari tragedi ini adalah Muslim dan termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua.
Dewan kota menyatakan awal bulan ini peringatan tiga tahun dari tragedi serangan itu akan dilalui tanpa sebuah acara peringatan publik nasional. Hal itu lantaran permintaan dari keluarga yang berduka dan mereka yang terluka dalam peristiwa itu.
Namun, sejumlah inisiatif yang dipimpin komunitas datang dan bertujuan menunjukkan dukungan bagi komunitas Muslim. "Tahun ini, keluarga dan para penyintas telah memberi tahu kami mereka tidak lagi menginginkan sebuah acara nasional, sebagai Dewan kami dengan sepenuh hati akan mendukung acara dan inisiatif yang dibuat oleh para keluarga yang ditinggalkan dan korban yang terluka dan trauma, dan kami berharap semua penduduk kota akan melakukannya juga," kata Wali Kota Christchurch Lianne Dalziel.
Setelah mengaku bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan dan satu dakwaaan terorisme, pelaku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat pada Agustus 2020. Ini menandai pertama kalinya hukuman seumur hidup dijatuhkan di Selandia Baru. Pada November lalu, pengacara Tarrant Tony Ellis mengatakan penyerang sedang mempertimbangkan untuk mengajukan banding atas hukuman penjaranya.