Rabu 16 Mar 2022 21:02 WIB

Klaim Big Data Aspirasi Penundaan Pemilu yang Dinilai Membodohi Rakyat

"Kita semua dianggap bodoh sepertinya. Kita sedang dibodoh-bodohi dengan cara ini."

Red: Andri Saubani
Big data (Ilustrasi). Belakangan muncul klaim big data 110 juta aspirasi penundaan pemilu oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menuai polemik.
Foto: Pixabay
Big data (Ilustrasi). Belakangan muncul klaim big data 110 juta aspirasi penundaan pemilu oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menuai polemik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Febrianto Adi Saputro

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti mengatakan, klaim big data mengenai banyaknya warganet yang mendukung penundaan Pemilu 2024 merupakan upaya membodohi rakyat. Big data tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca Juga

"Saya ketawa sekaligus marah mendengar klaim 110 juta itu, kita semua dianggap bodoh sepertinya. Kita sedang dibodoh-bodohi dengan cara ini, logika kita dibolak-balik sembarangan dan apa yang dinyatakan penguasa seakan-akan benar," ujar Bivitri dalam diskusi daring bertajuk Demokrasi Konstitusional dalam Ancaman pada Rabu (16/3/2022).

Luhut dalam sebuah siniar, menyebut big data menunjukkan 110 juta aspirasi masyarakat di media sosial menginginkan penundaan pemilu. Padahal, kata Bivitri, klaim ini sudah dibantah Drone Emprit melalui pendirinya, Ismail Fahmi.

Data menunjukkan, pengguna Twitter di Indonesia hanya 18 juta. Dari jumlah ini, hanya sekitar 10 ribu atau 0,055 persen pengguna yang aktif berbicara soal perpanjangan masa jabatan presiden.

Persentase pengguna Instagram dan Facebook yang membicarakan perpanjangan masa jabatan presiden disebut bisa lebih sedikit. Jika 0,055 persen digunakan pada pengguna Facebook, maka hanya ada 77 ribu akun yang membicarakan isu perpanjangan masa jabatan presiden dari total 140 juta pengguna Facebook (pada tahun lalu).

"Jadi 110 juta itu tidak mungkin jika melihat data Drone Emprit. Apalagi juga metode ilmiahnya tidak jelas. Kita disesatkan dengan data yang disampaikan di channel YouTube, yang saya yakini juga ada biayanya," kata Bivitri.

Bivitri mengajak seluruh elemen masyarakat kritis dan bergerak bersama melawan ide penundaan pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden. Ide ini dinilai mengancam demokrasi dan melanggar konstitusi yang mensyaratkan pembatasan kekuasaan.

"Jadi semua orang, termasuk mereka yang sedang memegang jabatan, yang membicarakan kemungkinan amandemen atau memelintir apa yang akan dikerjakan KPU, sesungguhnya adalah pengkhianat konstitusi. Mereka harusnya malu, bahkan mundur, karena mereka tidak bisa lagi mengaku sebagai negarawan karena telah melanggar sumpah jabatan itu," tutur dia.

Dalam diskusi yang sama, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas mengatakan, isu penundaan pemilu bukan aspirasi rakyat, melainkan hanya kepentingan nafsu dan syahwat politik di kalangan penguasa. Menurutnya, para penguasa saat ini ingin melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara meskipun inskonstitusional.

"Ide itu menunjukkan menguatnya nafsu dan syahwat politik di kalangan penguasa, untuk tujuan apa, pengawetan kekuasaan oleh elite parpol (partai politik) dan kalangan Presiden Jokowi di Istana," ujar Busyro.

Dia menilai, telah terjadi krisis akal budi di kalangan birokrasi dan elite partai politik dan juga tidak menjalankan amanat rakyat dengan jujur. Bahkan, Busyro menyebut para elite politik yang mengusulkan penundaan Pemilu 2024 seperti keledai yang tak punya rasa malu.

 

"Semakin vulgarnya sikap kekuasaan, vulgar banget, tidak ada rasa malu, seperti keledai-keledai politik saja, tidak belajar dari masa lalu," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement