Pembayaran cicilan skema bayar tunda atau buy now pay later (BNPL) menjadi salah satu industri yang kian tumbuh sejak pandemi covid-19 melanda, khususnya di Indonesia. BNPL memungkinkan pelanggan membeli barang dan jasa secara online atau offline dan membayar belakang dalam batas waktu tertentu. Jika pembayarannya melewati batas waktu yang ditentukan, biasanya dikenakan denda dengan sistem kelipatan bunga.
Pertumbuhan yang luar biasa itu juga dipengaruhi oleh perdagangan elektronik alias e-commerce. Tak bisa lagi dinafikkan dalam kehidupan sehari-hari trennya berkembang dengan berbagai bentuk layanan, seperti halnya pay later.
Survei dari perusahaan rintisan SurveySensum memperkirakan, layanan pengiriman kilat, live streaming, omni-channel bahkan pembayaran mencicil akan jadi tren di e-commerce tahun ini. Prediksi itu tertuang dalam laporan bertajuk Tren E-commerce 2022 di Indonesia.
Baca Juga: Pembayaran Digital Kian Digemari, OVO Hadir di Semua E-Commerce Unicorn Indonesia!
Menurut peneliti ekonomi digital Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, salah satu kunci tingginya minat masyarakat terhadap pay later adalah kemudahan syarat administrasi. Pay later bahkan dapat secara perlahan menggantikan kartu kredit.
Hal ini, menurutnya, juga menjadikan celah tersebut dimanfaatkan oleh penyedia layanan pay later. Orang yang tidak memiliki kartu kredit, tetapi ingin membeli barang, akan mencari pembiayaan alternatif yang memungkinkan mereka mengajukan kredit, apalagi dengan didukung hadirnya e-commerce dengan alternatif pay later dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Pay later ini kan masuk ke dalam ekosistem dari e-commerce sekarang. Jadi kenaikan transaksi e- commerce sudah sewajarnya akan meningkatkan permintaan dari pay later sendiri,” jelasnya Selasa (15/3/2022).
Salah satu perusahaan pay later di Indonesia, Kredivo, juga melihat potensi pengembangan industri pay later yang terus tumbuh menjadi primadona di tengah tren transaksi digital saat ini.
Menurut VP Marketing and Communications Kredivo, Indina Andamari, pada awal Kredivo hadir di 2016 lalu, penetrasi pay later di Indonesia masih berada pada tahap awal, bahkan belum cukup familiar di beberapa kalangan masyarakat Indonesia.
“Namun, saat ini industri pay later telah menjadi industri yang terus bertumbuh secara signifikan dalam waktu relatif cepat. Kebutuhan masyarakat akan opsi metode pembayaran fleksibel di tengah rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia masih menjadi faktor utama bagi pertumbuhan industri ini,” ungkap Indina Andamari saat diwawancarai Warta Ekonomi beberapa waktu lalu.
Ia menyebutkan industri pay later juga terus beriringan dengan pengembangan industri e-commerce. Hal ini pun tercermin dari preferensi konsumen dalam memilih metode pembayaran digital untuk berbelanja di e-commerce, dengan 27% responden menggunakan pay later untuk berbelanja di e-commerce paling tidak satu kali dalam setahun terakhir, bersaing dengan metode pembayaran e-wallet dan transfer bank. Sementara itu, transaksi pay later di e-commerce Indonesia juga mengalami peningkatan hingga 8,7 kali.
“Sektor e-commerce menjadi salah satu fokus utama kami dalam meningkatkan penetrasi setiap tahunnya. Kredivo pun telah melakukan integrasi fitur pay later dengan wallet share setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce di Indonesia,” jelas Indina.
Sejalan dengan itu, menurut Neni Veronica, Head of Go To Market, GoPayLater, pertumbuhan bisnis pay later secara umum terus bertumbuh. Hal ini tercermin dari sejumlah riset global, salah satunya Research and Markets yang dirangkum PRNewswire. Survei Q4-2021 lembaga ini mengungkapkan industri pay later di Asia Pasifik akan naik 61,5% secara tahunan menjadi 133,69 miliar dolar di 2022.
Ia juga menyebutkani Indonesia, menurut survei BNPL Q4 2021, pay later diperkirakan tumbuh sebesar 94,7% secara tahunan mencapai 2,66 miliar dolar pada tahun 2022. Pertumbuhan BNPL dalam jangka menengah hingga panjang akan tetap kuat dan diperkirakan terus tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) 33.3% selama 2022-2028 di Asia Pasifik. Total transaksi (GMV) BNPL juga diperkirakan akan meningkat dari 82,81 miliar dolar pada tahun 2021 menjadi 749,22 miliar dolar pada tahun 2028.
“Survei ini juga mengungkap Indonesia merupakan salah satu negara yang mencatat permintaan yang kuat untuk opsi pembayaran BNPL pada periode ini. Kami melihat potensi pada GoPayLater yang akan mengikuti tren pertumbuhan ini,” sebut Neni.
Sama halnya dengan data dari Indina dan Neni, Syifa Siti Nurfauziyah, salah satu pengguna aktif pay later menyebutkan dirinya sudah menggunakan layanan ini sejak pandemi merebak di Indonesia. Ia menyebutkan penggunaan dari pay later membantu sistem ekonominya saat di masa kritis dan meringkas metode pembayaran yang selama ini ia gunakan.
“Saya sendiri saat ini sudah pakai pay later sejak dua tahun, kira-kira saat awal pandemi. Dari pengalaman saya, pay later bisa mempermudah membeli apa saja kebutuhan saya di saat keuangan sedang tidak stabil. Apalagi dengan cicilan yang rendah bunganya,” ungkapnya saat diwawancarai.
Ia juga menjelaskan penyebaran pay later yang luas juga membantu dirinya untuk melakukan metode pembayaran di mana saja baik gerai offline maupun online.
“Untuk sejauh ini saya sudah menggunakan pay later di banyak tempat. Lebih sering sih di tempat online seperti e-commerce yaa, tapi kadang juga di kafe atau waktu belanja harian juga pernah,” tuturnya.
Saat ditanya soal kepemilikan kartu kredit, Syifa mengaku tidak memilikinya dan belum berminat. Sejauh ini menurutnya kehadiran pay later sebagai opsi pembayaran cukup membantunya dalam memenuhi kegiatan sehari-hari yang semakin seamless.
“Saya tidak menggunakan kartu kredit, alasan saya tidak ingin membuat kartu kredit karena dengan pay later sudah sangat membantu dengan limit yang bisa saya tentukan dengan cicilan yang sangat ringan dan bisa digunakan ke mana saja,” imbuhnya.
Hadir untuk Masyarakat Underbanked
Penetrasi internet yang berkembang dengan pesat, jumlah pengguna ponsel dan media sosial yang tumbuh dengan cepat, jumlah penduduk usia kerja yang tinggi, lingkungan regulasi yang kondusif, serta investasi yang kian meningkat, ternyata juga membantu pertumbuhan industri pay later. Hal ini sejalan dengan adanya kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap opsi pembayaran alternatif.
Nailul Huda menyebut, permintaan kredit konsumsi meningkat dari beberapa tahun terakhir, tetapi relatif sedikit perbankan mengeluarkan atau menyetujui pembukaan kredit konsumsi (kartu kredit) dari masyarakat. Menurutnya, dengan menurunnya minat masyarakat terhadap kartu kredit, pay later bisa menjadi pemimpin pasar pembiayaan yang konsumtif.
“Masyarakat saat ini juga sudah mulai pindah dari layanan kartu kredit menjadi pay later. Nah, hal itu bisa dilihat dari jumlah penerbitan kartu kredit yang menurun cukup signifikan dalam beberapa bulan ke belakang. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya tampaknya mereka pindah ke pay later di mana cukup mudah juga proses administrasinya,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan bagi masyarakat underbanked, pay later menjadi pilihan utama dibandingkan dengan kartu kredit. Pasalnya biasanya bank perlu data-data perbankan yang susah didapatkan oleh masyarakat. Maka dari itu, masyarakat pindah ke pay later.
Sama halnya dengan Nailul Huda, menurut Kredivo, potensi pengembangan industri pay later juga dilihat sebagai sebuah strategi yang efektif dan efisien dalam menjangkau masyarakat underbanked di Indonesia, yang jumlahnya masih tinggi di Indonesia. Dibandingkan negara Asia Tenggara lain, Indonesia punya penetrasi kartu kredit rendah yaitu di
bawah 5%. Tercatat, sekitar 26% atau 47 juta jiwa dari total populasi penduduk dewasa di Indonesia telah memiliki rekening bank, namun masih menghadapi keterbatasan akses ke layanan keuangan konvensional di ranah pembiayaan konsumen seperti kartu kredit dan KTA. Bahkan, jumlah populasi underbanked di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.
“Tak heran jika saat ini berbagai kolaborasi strategis juga dilakukan di antara bank konvensional dan pelaku industri pay later mulai dari pendanaan lini kredit, hingga menghadirkan kartu fisik pay later guna menjangkau lebih banyak masyarakat, terutama kelompok underbanked tersebut,” jelas Indina.
Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), jumlah instrumen e-money di Indonesia telah mencapai 513.968.693 pada Agustus 2021. Sedangkan pada periode yang sama, akumulasi penyaluran pinjaman mencapai Rp249 triliun kepada 68,41 juta penerima pinjaman (borrower) dengan jumlah transaksi mencapai Rp479 juta.
Faktor Utama
Lebih lanjut, setidaknya berikut tiga faktor utama yang disebutkan oleh Kredivo terkait pertumbuhan industri pay later:
- Kesenjangan akses kredit di Indonesia yang masih tinggi versus percepatan adopsi digital
Menurut data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit di Indonesia mencapai 16,5 juta pada September 2021, atau mengalami penurunan 6% dari jumlah tertinggi 17,5 juta di Februari 2019.
Secara keseluruhan, penetrasi kartu kredit di Indonesia hanya mencapai 6% dari total populasinya. Hal ini membawa peluang komersial tinggi bagi digital payment termasuk pay later, terlebih dengan percepatan adopsi digital yang terus meningkat signifikan karena pandemi. Bahkan, kartu kredit merupakan metode pembayaran yang paling sedikit diminati oleh konsumen saat bertransaksi di e-commerce, yaitu kurang dari 5%.
- Pay later juga dirancang untuk memberi nilai tambah bagi merchant
Sejak awal kehadirannya, pay later dirancang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dari sisi konsumen, namun juga memberikan nilai tambah para merchant dari sisi transaksi dan jangkauan pasar.
Melalui integrasi dengan pay later, para merchant Kredivo baik online maupun offline, mampu mengalami peningkatan transaksi, dengan setidaknya mendorong 3% hingga 4% dari GMV merchant e-commerce teratas.
Selain itu, dari sisi Cart Conversion Rate atau persentase pembelian berdasarkan jumlah barang yang disimpan oleh pelanggan di keranjang belanja, memungkinkan merchant yang telah melakukan integrasi dengan pay later memiliki Cart Conversion Rate 50% lebih tinggi selama check out.
- Pengalaman seamless bagi konsumen
Kemampuan teknologi pay later memungkinkan konsumen mendapat persetujuan secara instan, sehingga konsumen akan lebih nyaman dan bertransaksi 2-3x lebih sering. Inovasi teknologi industri ini mampu menghadirkan sistem skor kredit secara cepat dan kemampuan manajemen risiko yang terjamin.
Kredivo sendiri saat ini telah memiliki matriks risiko setara dengan bank, dengan tetap menerapkan prinsip responsible lending bagi konsumen, yaitu memberikan kredit sesuai kebutuhan konsumen tersebut.
Selain itu, dengan bunga sekitar 2,6% per bulan untuk cicilan 6 hingga 12 bulan, Kredivo saat ini sudah memiliki 5 juta pengguna aktif di Indonesia yang tumbuh hampir 2 kali lipat dalam 10 bulan terakhir, dengan rata-rata pengguna bertransaksi 25 kali menggunakan Kredivo setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan Kredivo memiliki engagement rate yang tinggi untuk yang penggunanya.
“Berkaca pada pertumbuhan industri pay later yang begitu pesat dalam tiga tahun belakangan dan makin diminati oleh masyarakat Indonesia, kami optimis industri pay later Indonesia akan memainkan peranan yang makin besar dalam lanskap digital payment di Asia Tenggara. Di Indonesia, Kredivo juga akan meningkatkan layanan di kota-kota tier 3, memperluas target konsumen ke sektor produktif, seperti UMKM,” imbuh Indina.
Neni pun menyebutkan, dengan adanya fitur pay later, GoPay ingin memenuhi kebutuhan pengguna yang berbeda-beda dan ingin memiliki kendali sepenuhnya atas keuangan mereka. Oleh karena itu, GoPay berinovasi dan memperkenalkan berbagai fitur seperti halnya Pick Your Limit.
“Inovasi fitur ini diharapkan dapat menunjang pengaturan keuangan yang lebih baik dengan membuat pengeluaran lebih terkendali dalam genggaman karena limit GoPayLater yang bisa diatur sendiri sesuai kebutuhan dan kemampuan setiap bulannya,” tutupnya.