REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) menaikkan batas pungutan ekspor minyak sawit (CPO) sebagai ganti dicabutnya domestic market obligation (DMO). Kemendag menilai, dengan naiknya batas pungutan tersebut, eksportir diyakini akan lebih memilih memasok sawit untuk dalam negeri ketimbang ekspor dengan pungutan yang tinggi.
"Untuk memastikan barang tidak keluar, kita menaikkan sumbangan pungutan ekspor," kata Lutfi dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022).
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76 Tahun 2021, pungutan ekspor sawit diatur sebesar 55 dolar AS per ton jika harga CPO 750 dolar AS per ton. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar 50 dolar AS per ton, maka tarif pungutan ekspor naik 20 dolar AS per ton.
Aturan tersebut berlaku kelipatan hingga menyentuh batas atas harga CPO 1.000 dolar AS per ton. Dengan kata lain, maksimal tarif pungutan ekspor saat ini sebesar 175 dolar AS per ton.
Selain pungutan ekspor, pemerintah juga mengenakan bea keluar CPO sebesar 200 dolar AS per ton sehingga total pungutan dan bea keluar mencapai 375 dolar AS per ton bila harga CPO sudah atau lebih dari 1.000 dolar AS per ton.
Lutfi mengatakan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan batas atas harga CPO menjadi 1.500 dolar AS ton sehingga tarif pungutan yang diperoleh bisa lebih besar. "Jadi, dari 375 dolar AS per ton, bisa menjadi 675 dolar AS per ton, itu akan membuat lebih untung jual dalam negeri daripada luar negeri," kata dia.
Sebagai gambaran, dengan acuan harga sawit saat ini sekitar 1.950 dolar AS per ton CIFF Rotterdam, dengan pungutan yang baru itu maka harga jual CPO hanya sekitar 1.275 dolar AS per, lebih rendah dari tarif sebelumnya di mana harga jual 1.575 dolar AS per ton.
Meski demikian, Lutfi menjelaskan, para eksportir tetap mendapatkan keuntungan dengan dinaikkannya pungutan ekspor itu. Ia menambahkan, dinaikkannya tarif pungutan ekspor itu memang juga berdampak pada petani yang ikut menanggung pungutan tersebut.
Namun, kata Lutfi, dengan harga tanda buah segar saat ini yang tinggi pun sudah sangat senang karena mendapatkan keuntungan. Perusahaan industri juga diharapkan tak lagi mengeluh dengan kebijakan DMO pemerintah.
Kenaikan pungutan ekspor tersebut, lanjut Lutfi, akan bermanfaat untuk menambah alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) yang akan digunakan untuk mensubsidi harga minyak goreng curah. Karena itu, Lutfi memastikan, pemerintah tetap menjamin kebutuhan minyak goreng masyarakat dengan penyediaan minyak goreng curah yang harganya dipatok Rp 14 ribu per liter.