Sepuluh tahun lalu, Mohammad Naanaa masih tinggal di pinggiran kota metropolitan Aleppo, di Suriah. Ketika itu sudah banyak aksi protes yang digelar setiap kali menentang perlakuan rezim Bashar al Assad. Dia tidak ikut aksi-aksi itu. Ketika itu dia berusia 19 tahun dan sibuk menyiapkan diri menghadapi ujian sekolah menengah.
Namun, situasi berubah cepat. Konflik meluas menjadi perang dan dia harus meninggalkan Aleppo. Dia mengungsi ke Turki dan akhirnya tiba di Jerman. Orang tua Mohammad mengungsi sembilan bulan kemduian ke London.
"Kalau kamu pernah mengalami pengungsian, kamu pasti mengerti dan solider dengan pengungsi dari Ukraina," kata Mohammad. "Soal pengungsian, kami ahlinya, sejak 11 tahun."
Situasi perang di mana-mana sama
Melihat situasi di Ukraina, Mohammad ingat lagi situasi di negaranya sendiri. "Kalau saya lihat gambar-gambarnya di berita-berita, tidak ada bedanya dengan di Suriah dulu. Bahkan orang Ukraina berperang melawan musuh yang sama.”
Sejak 2015, Rusia mengerahkan pasukan ke Suriah membantu rezim Assad menindas tuntutan demokrasi. Dalam serangan ke kota strategis Idlib, pasukan Rusia mengebom tempat tinggal penduduk sipil dan rumah sakit. Laporan PBB dari tahun 2020 menyebutkan ketika itu pasukan Rusia terlibat "kejahatan perang" di Suriah.
Saad Yagi juga mengungsi dari Suriah. Namun, dia melihat ada perbedaan dalam konflik di negaranya dengan konflik di Ukraina. "Perang di Suriah lebih tepat disebut sebagai revolusi," katanya. "Karena ketika itu kamu menggelar protes menentang rezim yang memerintah. Baru ketika pasukan Iran datang untuk membantu pasukan pemerintah, terjadi perang saudara." Selain itu, gerakan yang menentang rezim yang berkuasa masih harus menghadapi gempuran kelompok teror ISIS.
Solidaritas untuk Ukraina
Saad Yaghi 13 tahun lalu bergabung dengan gerakan yang menentang rezim, setelah rumahnya dibom dengan rudal. Dia sempat membuat foto-foto untuk sebuah kantor berita berbahasa Arab untuk mendokumentasikan berbagai kejahatan yang terjadi di kotanya, dekat perbatasan ke Irak.
"ISIS sempat menahan saya selama tiga hari," Saad bercerita. "Karena waktu itu saya terlihat membawa kamera dan banyak membuat rekaman." Untungnya, mereka tidak menemukan bukti apa-apa, kalau ada, saya pasti sudah dibunuh.”
Setelah dia dibebaskan, orang tuanya memutuskan meninggalkan Suriah. Mereka pertama-tama ke Damaskus, lalu pada 2015 mengungsi ke Jerman. Saat ini Saad Yaghi kuliah jurnalistik di Kota Dortmund.
Bagi Saad Yaghi, menunjukkan solidaritas kepada pengungsi Ukraina adalah sebuah kewajiban. "Tahun 2014 di Ukraina ada aksi demonstrasi besar dan saya lihat ada bendera Suriah yang dikibarkan para demonstran di sana. Orang Ukraina waktu itu menunjukkan solidaritasnya dengan kami," jelasnya. "Sekarang, kami harus membalas solidaritas itu."
Di akun Twitternya, dia mengirim foto tanda solidaritas. Saad mengatakan, dia juga punya banyak teman orang Rusia yang tidak setuju dengan serangan ke Ukraina. "Mereka menceritakan, banyak kenalan mereka di Rusia yang ditangkap karena menentang politik Putin. Banyak yang dipukuli dan mungkin juga ada yang dibunuh," gumamnya.
Sabtu (19/3), para pengungsi Suriah di Jerman merencanakan aksi peringatan 11 tahun perang di negaranya, sekaligus menunjukkan solidaritas mereka kepada Ukraina. "Kami tidak ingin lebih banyak orang mati di sana, sebelum Putin berhenti," kata Saad Yaghi.
(hp/ha)