Jumat 18 Mar 2022 18:10 WIB

Pupusnya Keinginan Terakhir Nawali, TKI yang Dieksekusi di Arab Saudi

Nawali bersama AA dan NH mengakui telah melakukan pembunuhan dengan alasan dendam.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Seorang TKI Tuti Tursilawati dieksekusi mati Arab Saudi. (Ilustrasi)
Foto: republika
Seorang TKI Tuti Tursilawati dieksekusi mati Arab Saudi. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Gombang, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Nawali Hasan Ihsan (47 tahun) alias Ato Suparto bin Data, dieksekusi di Arab Saudi, Kamis (17/3/2022) pagi waktu Jeddah. Keinginan terakhirnya untuk bisa bertemu putrinya sebelum eksekusi belum sempat terwujud.

Nawali dieksekusi bersama satu WNI lainnya, yakni Agus Ahmad Arwas (AA) alias Iwan Irawan Empud Arwas. Keduanya ditangkap pihak kepolisian Jeddah pada 2 Juni 2011, atas tuduhan membunuh sesama WNI atas nama Fatmah alias Wartinah.

Kakak ipar Nawali, Sandi (61), mengungkapkan, Nawali berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai sopir pada 2005. Itu merupakan keberangkatannya yang kedua.

Nawali sebelumnya juga pernah berkerja di Arab Saudi selama beberapa tahun dan sempat pulang ke Tanah Air pada 2004. Nawali kemudian berangkat lagi ke Arab Saudi pada 2005 dan tersandung kasus tersebut pada 2011.

Sandi menilai, adik iparnya itu sangat sayang dan perhatian pada keluarga. Terbukti, selama bekerja di Arab Saudi, adik iparnya itu kerap menelpon keluarganya setiap pekan.

"Kalau nelepon biasanya lama, sampai satu jam," kata Sandi, saat ditemui di rumah duka, Kamis (17/3) malam.

Selain itu, Nawali juga setiap bulannya selalu mengirimkan uang hasil jerih payahnya sebagai sopir kepada keluarganya. Sandi mengungkapkan, setiap kali menelpon, obrolan yang disampaikan Nawali biasanya hanya seputar keluarga. Terutama mengenai tumbuh kembang dan kabar kedua putrinya.

Menurut Sandi, kebiasaan Nawali yang selalu menelpon keluarganya itu tidak berubah meski di dalam tahanan. "(Selama dalam tahanan), neleponnya biasanya di wartel dan nggak bisa lama seperti dulu," tutur Sandi.

Menurut Sandi, Nawali terakhir kali menelepon pada Ahad (13/3/2022) lalu. Seperti biasa, Nawali selalu ceria saat berkomunikasi dengan keluarganya.

Pihak keluarga pun tak menyangka bahwa pembicaraan itu merupakan yang terakhir kalinya dengan Nawali. "Tidak ada feeling apa-apa. (Nawali) seperti biasa saja, seperti gak ada beban," kata Sandi.

Sandi menambahkan, melalui sambungan telepon, Nawali selalu berpesan pada keluarga besarnya untuk menjaga kedua putrinya. Nawali juga menitipkan pesan agar kedua putrinya bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Selain itu, lanjut Sandi, Nawali kerap menyampaikan keinginannya untuk dijenguk oleh kedua putrinya. Apalagi, Nawali belum pernah bertemu secara langsung dengan putri keduanya. 

Saat dulu Nawali berangkat ke Arab Saudi, putri bungsunya itu masih usia tiga bulan dalam kandungan. Saat ini, putri bungsunya itu sudah duduk di kelas dua SMP.

Sandi mengatakan, permintaan Nawali itu sudah pernah disampaikan ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI. Dia mengakui, keinginan Nawali itu direspon positif oleh Kemlu RI.

"Petugas dari Kemlu pernah datang ke rumah meminta berkas kedua putri Nawali untuk menjenguk ayah mereka (di tahanan Arab Saudi)," kata Sandi.

Namun, hingga eksekusi itu dilakukan, kunjungan kedua putri Nawali belum sempat terlaksana. Sampai akhir hayatnya, Nawali tak pernah bertemu secara langsung dengan putrinya.

Sandi mengaku, pihak keluarga sebelumnya tidak mengetahui bahwa Nawali akan segera dieksekusi. Karena itu, pihak keluarga sangat syok ketika petugas Kemlu datang menyampaikan kabar bahwa Nawali telah dieksekusi. 

Sandi berharap, keinginan terakhir Nawali bisa direalisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Setidaknya, kedua putri Nawali bisa berziarah ke makam ayah mereka.

Seperti diketahui, Nawali Hasan (NH), Agus Ahmad (AA), dan Siti Komariah (SK) ditangkap pihak Kepolisian Jeddah pada 2 Juni 2011 atas tuduhan membunuh sesama WNI atas nama Fatmah alias Wartinah. Ketiganya pun menjalani proses persidangan dengan dakwaan pembunuhan berencana. 

AA dan NH mengakui, telah melakukan pembunuhan dengan alasan dendam atas penganiayaan yang dilakukan korban terhadap istri NH.

Setelah melalui rangkaian persidangan, berdasarkan putusan hukum tertanggal 16 Juni 2013, AA dan NH mendapat putusan vonis mati pada persidangan tingkat pertama. Pada 19 Maret 2018, AA dan NH kembali mendapat vonis mati pada persidangan banding. Status vonis tersebut dinyatakan inkracht pada 19 Oktober 2018. 

"Sedangkan SK diputus hukuman penjara selama delapan tahun dan 800 kali hukuman cambuk," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Judha Nugraha, Kamis (17/3).

Judha mengungkapkan, sejak awal penangkapan hingga persidangan, Pemri termasuk KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh telah melakukan berbagai langkah pendampingan baik upaya litigasi di berbagai tingkatan persidangan maupun upaya non-litigasi untuk memastikan terpenuhinya seluruh hak terdakwa maupun untuk meringankan hukuman. 

Pasca eksekusi, Dubes RI Riyadh dan Konjen RI Jeddah pun mendampingi proses pemulasaraan jenazah dan pemakaman AA dan NH di Jeddah. Sesuai hukum setempat, jenazah harus segera dimakamkan di Arab Saudi. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement