Sabtu 19 Mar 2022 06:03 WIB

Perang Rusia-Ukraina Buat Ekonomi Indonesia Dihantui Stagflasi

Pemerintah Indonesia sebaiknya melakukan mitigasi pangan akibat perang Rusia-Ukraina.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Puing bangunan yang rusak di pusat Kota Kharkiv di Ukraina, Rabu, 16 Maret 2022, akibat serangan militer Rusia.
Foto: AP/Pavel Dorogoy
Puing bangunan yang rusak di pusat Kota Kharkiv di Ukraina, Rabu, 16 Maret 2022, akibat serangan militer Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia sebaiknya melakukan mitigasi dampak perang Rusia-Ukraina di sektor pangan, mengingat perang kedua negara masih terus terjadi. Sekjen Partai Gelora, Mahfudz Siddiq mengatakan, persoalan itu sebenarnya telah terjadi selama dua tahun terakhir akibat pandemi Covid-19, dan ditambah perang Rusia-Ukraina menjadi faktor tambahan bagi problem pangan dunia.

"Seluruh negara termasuk Indonesia harus memitigasi risiko terkait persoalan pangan ini, karena kelihatannya perang Rusia dan Ukraina belum akan berakhir dalam waktu dekat," ujar Mahfudz dalam Webinar Moya Institute bertajuk 'Dampak Global Invasi Rusia ke Ukraina' secara daring di Jakarta, Jumat (18/3/2022).

Baca Juga

Menurut Mahfudz, ada beberapa hal yang harus diperhatikan Indonesia untuk memitigasi dampak perang Rusia dan Ukraina bagi sektor pangan.Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tingkat produksi pangan. Indonesia, kata dia, seharusnya mampu meningkatkan produksi pangan guna mengantisipasi perang Rusia dan Ukraina dalam jangka panjang.

"Kemudian hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah diversifikasi pangan. Faktanya, kita justru masih mengalami persoalan terkait upaya diversifikasi pangan, contohnya terlihat dalam komoditas kedelai," ujar Mahfudz.

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Mukhaer Pakkanna menuturkan, invasi Rusia ke Ukraina membuat perekonomian Indonesia dihantui stagflasi. Dia menerangkan, stagflasi adalah suatu kondisi ketika pertumbuhan ekonomi lambat, pengangguran tinggi, dan inflasi tinggi terjadi secara bersamaan.

"Ini adalah fenomena yang tidak wajar dan kontras dengan kontraksi atau resesi, yakni ketika pertumbuhan rendah, inflasi tinggi dan pengangguran tinggi," ujarnya. Mukhaer mencontohkan, Ukraina memasok 2,96 juta ton gandum atau setara 27 persen dari total gandum yang diimpor Indonesia.

Sehingga, harga gandum akan naik seiring dengan invasi Rusia ke Ukraina, yang pastinya berdampak pada konsumsi masyarakat Indonesia. "Dan Indonesia adalah negara pengonsumsi mi instan terbesar kedua di dunia, dengan total 12,6 miliar porsi pada 2020," kata Mukhaer.

Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyampaikan, invasi Rusia ke Ukraina diklaim oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sebagai penyebab dari kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di Indonesia. Hery pun mendorong pemerintah untuk tidak menyerah pada situasi global.

Dia mendesak Mendag melakukan penanganan komprehensif untuk mengakhiri permasalahan minyak goreng di negeri ini. "Saya pun mengkritik keras Mendag yang mengaku tak bisa apa-apa menghadapi mafia minyak goreng. Saya tegaskan pada beliau bahwa negara memiliki segenap perangkat yang seharusnya tidak boleh menyerah dalam melayani kebutuhan rakyat," kata Hery.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement