Mengenal Dua Cara Penentuan Awal Ramadhan dalam Islam

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Subarkah

Sabtu 19 Mar 2022 14:07 WIB

Jamaah Tarekat Syattariyah melakukan tradisi menilik bulan (hilal), di Pantai Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, Rabu (14/4/2021). Sebagian Jamaah Syattariyah Sumbar menentukan jatuhnya 1 Ramadhan dengan menilik bulan menggunakan mata telanjang di pantai berdasarkan penghitungan hisab takwim khamsiah, dan mereka akan mulai berpuasa pada Kamis (15/4/2021). Foto: Antara/Iggoy el Fitra Jamaah Tarekat Syattariyah melakukan tradisi menilik bulan (hilal), di Pantai Ulakan, Padangpariaman, Sumatera Barat, Rabu (14/4/2021). Sebagian Jamaah Syattariyah Sumbar menentukan jatuhnya 1 Ramadhan dengan menilik bulan menggunakan mata telanjang di pantai berdasarkan penghitungan hisab takwim khamsiah, dan mereka akan mulai berpuasa pada Kamis (15/4/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penentuan masuknya bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan dua cara. Yakni dengan metode hisab atau perhitunan hilal secara matematis dan astronomis dan yang kedua dengan cara rukyat hilal yaitu aktivitas mengamati visibilitas hilal.

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjelaskan bahwa cara hisab bisa dilakukan dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya yaitu Syaban. Jika bulan Syaban telah sempurna selama 30 hari. Maka hari ke-31 adalah hari pertama bulan Ramadhan secara pasti.

Sedangkan dengan metode rukyat, jika hilal terlihat pada malam ke-30 dari bulan Syaban, maka hitungan telah masuk pada bulan Ramadhan dan puasa pada saat itu telah wajib dilaksanakan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-baqarah ayat 185, “Faman syahida minkumussyahra falyasumhu,”. Yang artinya, “Karena itu, barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan tersebut, maka hendakah ia berpuasa pada bulan itu,”.

Adapun kepastian mengenai telah terlihatnya hilal cukup dengan kesaksian satu orang atau dua orang yang adil. Sebab Rasulullah SAW membolehkan kesaksian satu orang atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan. 

Sedangkan rukyat hilal untuk bulan Syawal untuk mengakhiri puasa tidak dapat ditetapkan kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil. Sebab Rasulullah SAW tidak membolehkan kesaksian satu orang melalui rukyat hilal untuk menentukan bulan Syawal.

Dijelaskan pula bahwa orang telah melihat hilal Ramadhan maka ia wajib berpuasa meskipun kesaksiannya tidak diterima. Tetapi orang yang melihat hilal Syawal dan kesaksiannya tidak diterima, maka ia tidak boleh mengakhiri puasanya.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi, “As-shaumu yauma tashumuna wal-fithru yauma tufthiruna wal-adhaa yauma tudhahuna,”. Yang artinya, “Puasa ialah hari pada saat kalian berpuasa, Al-Fithr (Idul Fitri) adalah hari pada saat kalian berbuka, dan Al-Adha (Idul Adha) adalah hari pada saat kalian berkurban,”.

 

 

 

Terpopuler