Ahad 20 Mar 2022 21:02 WIB

Koalisi 21 Organisasi Sipil Desak Haris dan Fatia Dibebaskan 

Keduannya berstatus tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar P.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar berjalan keluar Gedung Ditreskrimum.
Foto: Antara/Reno Esnir
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar berjalan keluar Gedung Ditreskrimum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), sebuah koalisi yang terdiri atas 21 organisasi sipil, mendesak Presiden dan Kapolri untuk segera membebaskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduannya berstatus tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan. 

Koalisi menilai, penetapan tersangka ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pembela HAM. "Komite Nasional Pembaruan Agraria menuntut Pemerintah, utamanya Presiden, Kapolri dan seluruh jajaran terkait untuk segera bebaskan Fatia Maulidiyanti, Haris Azhar ... dari ancaman kriminalisasi dan segala tuntutan hukum yang disetir kekuatan modal serta kekuasaan yang represif," kata Dewi Sartika selaku Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, salah satu organisasi yang tergabung dalam koalisi KNPA, Ahad (20/3). 

KNPA, kata Dewi, juga mendesak pemerintah berhenti menggunakan hukum sebagai senjata membungkam kebebasan berpendapat, termasuk kritik terhadap para pejabat. "Berikan jaminan penghormatan, pengakuan dan perlindungan atas kerja-kerja para pembela HAM yang aktif dalam mengkritisi dan mengawasi pejabat publik," ujarnya. 

Untuk diketahui, Haris Azhar (Ketua Dewan Pengawas Lokataru Foundation) dan Fatia Maulidiyanti (Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 18 Maret. Keduanya dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai tersangka pada Senin (21/3) mendatang. 

Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka usai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan keduanya dalam kasus pencemaran nama baik. Keduanya dilaporkan atas pernyataan mereka dalam video yang diunggah di YouTube pada 20 Agustus 2021 dengan judul, “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”. 

Dewi menjelaskan, pernyataan Haris dan Fatia dalam video tersebut mengacu pada hasil riset tentang relasi ekonomi dalam operasi militer berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Kajian tersebut disusun dan diterbitkan bersama oleh organisasi masyarakat sipil, yakni WALHI, Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, YLBHI, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia. 

Menurut Dewi, hasil riset dan kritik organisasi masyarakat sipil terhadap pemerintah merupakan salah satu bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah yang demokratis. Tidak seharusnya hukum diberikan kepada pengkritik. 

"Sanksi denda maupun pidana bagi pengkritik yang dituduh dengan pencemaran nama baik, seharusnya diganti dengan hak untuk mengoreksi atau hak menjawab," ujar Dewi. 

Luhut, kata dia, seharusnya membuka data sesungguhnya yang dimiliki pemerintah untuk menjawab hasil riset tersebut. Nyatanya, Luhut selaku pejabat publik malah menggunakan langkah hukum untuk “menyerang” pendapat Haris dan Fatia yang berdasarkan riset.

"Pemerintah melalui kasus Fatia dan Haris, tidak hanya memperlihatkan wajah asli pemerintahan yang anti-kritik, namun juga represif," ungkap Dewi. 

KNPA terdiri atas 21 organisasi sipil yang bergerak di bidang advokasi HAM, lingkungan, petani, dan perempuan. Beberapa di antaranya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Serikat Petani Indonesia (SPI).

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement