Senin 21 Mar 2022 04:55 WIB

Imam Shamsi Ali: Muslim Indonesia Paling Toleran di Dunia

Toleransi umat Islam Indonesia dinilai melebihi negara-negara lain

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi Ali, menyatakan toleransi umat Islam Indonesia dinilai melebihi negara-negara lain
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi Ali, menyatakan toleransi umat Islam Indonesia dinilai melebihi negara-negara lain

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – President of Nusantara Foundation dan juga Imam Besar Islamic Center New York Imam Shamsi Ali mengatakan, umat Islam Indonesia merupakan salah satu contoh konkret wajah Islam yang paling toleran di dunia.

Imam Shamsi mengatakan, bahwa ketika terjadi demonstrasi damai 212 di Indonesia, media Barat, terutama yang ada di Amerika, menyebut Indonesia sebagai negara yang berada di ambang kehancuran, sama seperti Suriah. 

Baca Juga

Namun demikian, Imam Shamsi bersuara keras dan menjamin bahwa umat Muslim Indonesia merupakan umat yang paling toleran di dunia.

“Di Indonesia, jangankan diberi hak yang sama, ada masa-masa malah justru teman-teman minoritas (non-Muslim) kita ada di (posisi) atas. Baik secara ekonomi dan lainnya. Dan itu masih terasa. Umat Islam Indonesia adalah pelaku demokrasi yang nyata di dunia,” kata dia dalam webinar, Ahad (20/3/2022).

Dia membandingkan bagaimana kondisi di Amerika Serikat yang menyebut dirinya sebagai negara demokratis di dunia. Untuk dapat memperoleh hari libur Idul Adha dan Idul Fitri di Kota New York saja, kata dia, umat Islam Amerika melakukan perjuangan hingga tujuh tahun lamanya.

Sedangkan di Indonesia, lanjut dia, Presiden Gus Dur dalam masa jabatannya mengesahkan hari libur nasional untuk Imlek Konghucu. Adapun agama-agama di luar Islam, hari liburnya bahkan telah ada sejak lama.

Pihaknya juga menekankan bahwa ciri-ciri moderasi salah satunya adalah menghadirkan teladan. Untuk itu, dia menyerukan kepada umat Islam untuk senantiasa memberikan karakteristik keteladanan dalam menjalankan aktivitas.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kata moderasi, toleransi, dan radikalisme kian populer setelah terjadinya peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, pada dekade lalu. Islam menjadi sasaran kebencian dan masih terasa hingga saat ini.

Dia mengatakan, belakangan kata moderasi dan radikalisme kerap dimanfaatkan beragam pihak untuk mencapai kepentingan tertentu. Sehingga dalam perjalanannya, terjadilah politisasi istilah.

“Kata toleransi dan moderasi kerap kali digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga esensi dari kata-kata yang indah ini kadang disalahgunakan. Sebenarnya apa itu moderasi? Dalam Islam, moderasi itu ya siratal mustaqim,” kata Imam Shamsi.

Dia menjelaskan bahwa umat Islam harus memahami bahwa orang yang mengaku Muslim tidak bisa memisahkan dirinya dari Islam. Tidak bisa seorang Muslim menjalankan keislamannya secara parsial.

 Dia menilai, jangan sampai umat Islam memahami bahwa moderasi itu mereduksi nilai komitmen keagamaan seorang Muslim.

“Jangan sapai kita datang ke resepsi pernikahan, lalu kita minum miras agar dibilang moderat. Tidak begitu. Moderasi itu bukan setengah hati kita beragama,” ujar dia.

Dia menekankan bahwa salah satu karakteristik moderasi adalah umat Islam harus menjalankan kejujuran. Misalnya dalam bidang hukum, tidak diperkenankan hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Di saat tidak ada keadilan, kata dia, maka jangan berani-berani menyebut diri sebagai seorang umat yang moderat.   

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement