Selasa 22 Mar 2022 06:43 WIB

Sekjen PBB Peringatkan Embargo Minyak Rusia Picu Kehancuran Dunia

Jerman, konsumen energi terbesar Rusia, ingin meningkatkan pasokan minyak dari Teluk.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Pengeboran minyak di Oklahoma, Amerika Serikat, Senin (7/3/2022). Amerika Serikat (AS) sedang mewacanakan penerapan larangan impor minyak dari Rusia.
Foto: AP Photo/Sue Ogrocki
Pengeboran minyak di Oklahoma, Amerika Serikat, Senin (7/3/2022). Amerika Serikat (AS) sedang mewacanakan penerapan larangan impor minyak dari Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Negara-negara yang berebut untuk mengganti pasokan minyak, gas, dan batu bara Rusia dengan alternatif apa pun yang tersedia dapat memicu kehancuran di dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan tindakan itu membunuh harapan untuk menjaga pemanasan global di bawah tingkat yang berbahaya.

"Negara-negara dapat menjadi sangat terkonsumsi oleh kesenjangan pasokan bahan bakar fosil sehingga mereka mengabaikan atau menutup kebijakan untuk memotong penggunaan bahan bakar fosil," kata Guterres  melalui video di sebuah acara yang diselenggarakan oleh Economist pada Senin (21/3/2022).

Baca Juga

Jerman, salah satu pelanggan energi terbesar Rusia, ingin meningkatkan pasokan minyaknya dari Teluk dan mempercepat pembangunan terminal untuk menerima gas alam cair. Sedangkan juru bicara Gedung Putih Jen Psaki awal bulan ini menyatakan, perang di Ukraina adalah alasan bagi produsen minyak dan gas Amerika untuk mendapatkan lebih banyak pasokan dari dalam negeri.

"Alih-alih mengerem dekarbonisasi ekonomi global, sekaranglah saatnya untuk menginjakkan kaki pada logam menuju masa depan energi terbarukan," ujar Guterres.

Sebuah laporan yang dirilis bulan lalu, menemukan bahwa setengah dari umat manusia sudah menghadapi risiko serius dari perubahan iklim. Guterres mengatakan tujuan kesepakatan iklim Paris untuk membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius adalah untuk mendukung kehidupan karena negara-negara tidak berbuat cukup untuk menurunkan emisi.

Dengan suhu yang sudah sekitar 1,2 celcius lebih tinggi sekarang daripada sebelum industrialisasi, menjaga agar target Paris tetap hidup membutuhkan pengurangan 45 persen emisi global pada 2030. Namun, setelah penurunan terkait pandemi pada 2020, emisi meningkat tajam lagi tahun lalu.

"Jika kita melanjutkan dengan lebih banyak hal yang sama, kita bisa mengatakan selamat tingga pada 1,5. Bahkan dua derajat mungkin di luar jangkauan. Dan itu akan menjadi malapetaka," kata Guterres.

Guterres mendesak negara-negara maju dan berkembang terbesar di dunia untuk melakukan pengurangan emisi yang serius. Pengurangan tersebut termasuk dengan segera mengakhiri ketergantungan mereka pada batu bara dan meminta pertanggungjawaban perusahaan swasta yang terus mendukung penggunaannya.

Berbicara pada pembukaan pertemuan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada Senin, kepala kantor iklim PBB Patricia Espinosa mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan segera sehingga target untuk tahun 2030 dapat tercapai. Salah satu poin dari target tersebut adalah tujuan Uni Eropa untuk mengurangi emisi sebesar 55 persen dibandingkan dengan tingkat pada 1990.

"Rencana jangka panjang itu penting dan dibutuhkan. Namun, jika para pemimpin global, publik dan swasta, tidak membuat kemajuan dan menetapkan rencana yang jelas untuk aksi iklim dalam dua tahun ke depan, rencana untuk tahun 2050 mungkin tidak akan tercapai dan tidak relevan," ujar Espinosa.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement