REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang wajib militer. Menteri Pertahanan Chiu Kuo-cheng pada Rabu (23/3/2022) mengatakan, pertimbangan ini muncul ketika pemerintah memperbarui diskusi tentang cara terbaik untuk menanggapi ancaman militer China.
Taiwan secara bertahap beralih dari wajib militer menjadi kekuatan profesional yang didominasi sukarelawan. Tetapi tekanan China yang meningkat, serta operasi militer Rusia ke Ukraina telah memicu perdebatan tentang bagaimana meningkatkan pertahanan sipil.
Menjawab pertanyaan dari anggota parlemen di parlemen, Chiu mengatakan bahwa proposal untuk memperpanjang wajib militer masih dalam pertimbangan. Dia memastikan akan ada rencana yang diajukan tahun ini.
"Kita harus mempertimbangkan situasi musuh dan operasi pertahanan kita dalam hal kekuatan militer," kata Chiu.
Sebelumnya, pemerintah di bawah Partai Progresif Demokratik yang berkuasa dan oposisi utama Kuomintang telah memotong jangka waktu wajib militer dari dua tahun menjadi empat bulan. Langkah ini dilakukan untuk menyenangkan para pemilih usia muda.
Ahli strategi militer berharap pelatihan yang unggul dapat membantu memberikan mereka keunggulan dalam konflik. Selain itu, pemerintah juga sedang mengerjakan program untuk mereformasi pelatihan cadangan.
Kepala Departemen Perencanaan Strategis Kementerian Pertahanan, Lee Shih-chiang, mengharapkan gelombang pertama drone MQ-9 Reaper buatan AS dapat digunakan oleh militer pada 2025. Drone tersebut dipersenjatai dengan rudal dan beroperasi pada jarak jauh.
Cina telah meningkatkan kegiatan militernya di dekat Taiwan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka berusaha menekan Taipei untuk menerima klaim kedaulatan Beijing. Cina tidak mengakui pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis atau klaim kedaulatan Taiwan.