Rabu 23 Mar 2022 19:44 WIB

Komcat Dinilai Bukan Hal Mendesak

Pelibatan komcad menghadapi ancaman nonmiliter dan hybrida berpotensi memicu konflik.

Diskusi pakar bertajuk
Foto: istimewa/doc humas
Diskusi pakar bertajuk

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG — Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al A'raf menilai keberadaan Komponen Cadangan (Komcad) dinilai bukan hal penting dan mendesak. Harusnya TNI sebagai komponen utama yang diperkuat.

"Sebaiknya pemerintah fokus memperkuat komponen utamanya" kata Al araf dalam diskusi pakar bertajuk 'Telaah Kritis UU PSDN dalam Perspektif Politik, Keamanan, Hukum, dan HAM’, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (23/3/2022).

Keberadaan Komcad diatur dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Saat ini masyarakat sipil telah mengajukan uji materiil UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2021.

Terkait dengan uji materi ini,  Al A'raf menduga pemerintah mempunyai rencana B untuk berkelit. Ia menduga pemerintah akan mengajukan rancangan UU baru yang mengatur hal tersebut dan dimasukkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

"Hal utama yang mendapatkan penolakan adalah aturan tentang perekrutan warga negara untuk Komcad. Komcad bukan merupakan prioritas utama secara geopolitik karena tidak ada negara yang mengancam dalam waktu dekat,” papar Al Ar’af dalam siaran pers.

Masalah yang terdapat dalam UU PSDN tersebut seperti tujuan pembentukan Komcad yang sangat luas, yakni untuk menghadapi ancaman militer, non-militer, dan hibrida yang multitafsir. Pelibatan komcad dalam menghadapi ancaman nonmiliter dan hybrida berpotensi menjadi pemicu konflik horisontal.

Menurutnya, UU ini cenderung mendorong kekerasan dan koersif dalam penyelesaian sengketa yang melanggar consensus of objection HAM. Padahal hak warga negara untuk menolak perang harus dihormati dalam perspektif HAM. "Dalam UU PSDN terdapat pemidanaan bagi komponen cadangan dan itu melanggar prinsip kesukarelaan," kata Al A'raf.

Dosen FH Universitas Brawijaya Milda Istiqomah menyebut UU PSDN cacat secara definitif, ruang lingkup pengaturan yang terlalu luas, multitafsir. Menurutnya, UU ini menunjukkan kesewenang-wenangan negara.

Menurut Milda, UU PSDN sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan perilaku vigilante (penegakan hukum dengan cara sendiri-sendiri di masyarakat).

Dosen Fisip Universitas Brawijaya Arief Setiawan, mengatakan daripada membentuk Komcad, negara seharusnya mengembangkan teknologi dan kualitas pertahanan. "Bukan mendorong cara kekerasan dan koersif dalam penyelesaian konflik,” ungkapnya.

Sekjen Sepaham Indonesia Cekli Setia Pratiwi, berpendapat UU PSDN dibentuk dengan mengabaikan partisipasi publik. Hal ini menimbulkan dugaan kuat cacat prosedur seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja.

Selain itu, lanjutnya, UU ini condong menekankan ke territorial security bukan ke human security. Negara dianggap lebih peduli optimalisasi daripada perlindungan HAM. Territorial security mayoritas gagal dalam membangun manusia yang unggul.

“Jikalau UU PSDN dimaksudkan untuk mencegah perang, sudah seharusnya melihat hal-hak yang harus dibatasi dalam keadaan darurat contohnya kebebasan berpikir/berkeyakinan tidak dapat dibatasi dalam konteks apapun,” kata Cekli.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement