REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menyebut Hari Meteorologi Dunia (HMD) 2022 yang diperingati pada 23 Maret menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas peringatan dini dan tindakan dini terhadap fenomena cuaca dan iklim.
Menurutnya, cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia diakibatkan kencangnya laju perubahan iklim. Tidak hanya intensitasnya yang bertambah, namun juga durasinya. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es.
Ketika situasi tersebut bertemu dengan kerentanan lingkungan, maka fenomena ekstrem tersebut tidak jarang merembet menjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor.
"Hari Meteorologi Sedunia, tanggal 23 Maret 2022, mengangkat tema 'Early Warning and Early Action, Hydrometerological and Climate Information for Disaster Risk Reduction', dapat kita artikan peringatan dini dan tindakan dini, serta menyoroti pentingnya informasi hidrometeorologi dan iklim untuk pengurangan risiko bencana," kata Dwikorita dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (23/3).
Dwikorita mengatakan, BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 derajat celcius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 derajat celcius, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 derajat celsius.
Sebagai perbandingan, informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di laporan terakhirnya pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
“Kondisi ini pula yang mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis,” tuturnya.
Fenomena lainnya, munculnya siklon tropis seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi.
“Jika situasi ini terus berlanjut, maka kasihan anak cucu kita, generasi penerus bangsa ini. Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materil namun juga korban jiwa,” katanya mengingatkan.