REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro mengatakan persoalan penanganan sampah plastik saat ini menjadi tantangan nyata yang dihadapi negara-negara anggota G20.
"Kalau secara global kita itu baru bisa mendaur ulang 10 persen dari produksi plastik sejak plastik itu ada. Jadi tantangan untuk melakukan sirkulasi plastik, kemudian tidak menambah lagi plastik yang baru, adalah tantangan yang sangat nyata," kata Sigit di Yogyakarta, Rabu (23/3/2022).
Pernyataan tersebut disampaikan diadalam konferensi pers kesimpulan hasil pertemuan pertama G20 Environment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (G20 1st EDM-CSWG) Leading For Sustainability. Pertemuan G20 sektor lingkungan dan kehutanan itu digelar pada 21-23 Maret 2022 di Yogyakarta. Dengan melihat persoalan tersebut, kata Sigit, konsep penanganan sampah plastik yang sekarang ini didorong adalah mendorong plastik yang ada tersebut masuk lagi ke dalam sistem ekonomi.
"Bisa dengan didaur ulang jadi produk lain, digunakan proses lain dan sebagainya, konsep itu juga dilakukan oleh kita dengan extended producers responsibiliy (tanggung jawab produsen yang diperluas), sirkular ekonomi dan lain sebagainya," kata Sigit.
Namun demikian, kata dia, secara global tantangan untuk melakukan 3R (reduce, reuse, recycle) plastik tersebut besar, sehingga memang perlu regulasi yang melarang plastik polusi, termasuk pemerintah Indonesia harus siap dengan hal itu. "Makanya dalam forum G20 ini kita juga mengundang Kadin (Kamar Dagang dan Industri) untuk berbicara mengenai persiapan dunia usaha dalam menangani plastik," ungkap dia.
Berdasarkan pengalaman, katanya, untuk menangani sampah plastik itu infrastruktur atau sarana yang disediakan di masyarakat oleh pemerintah tidak akan mencukupi kalau tanpa didukung dunia swasta. "Makanya swasta harus berani membuat desain produk yang tidak menggunakan plastik atau mendesain produk yang kalau rusak itu bisa diperbaiki, sehingga tidak perlu dibuang ke lingkungan, tapi dia akan menjadi bagian dari produk atau bisa dicopot-copot kemudian komponen akan dijual sebagai bagian yang terpisah," ujar Sigit.