Kamis 24 Mar 2022 06:19 WIB

Kepala BKKBN: Cegah Stunting tak Cukup Andalkan Protein Nabati

'Jangan orang berpikir supaya gak stunting, makan sayur banyak, tapi gak makan telur.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ratna Puspita
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyambangi sejumlah warga di  Desa Kesetnana Kecamatan Mollo Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Selasa (22/3/2022).
Foto: Dok BKKBN
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyambangi sejumlah warga di Desa Kesetnana Kecamatan Mollo Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Selasa (22/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan, pencegahan stunting tak hanya bisa mengandalkan protein nabati, tetapi harus dilengkapi dengan protein hewani. Kunci sukses menyelesaikan masalah stunting, yakni protein hewani. 

"Ini saya mohon untuk diluruskan, jangan sampai orang punya pikiran supaya gak stunting, makan sayur yang banyak, tapi gak makan telur, ikan, gak makan daging, tetap gak sukses karena kuncinya stunting protein hewani," kata Hasto kepada wartawan dalam kunjungan kerjanya ke Soe, Timur Tengah Selatan, NTT, pada Kamis (24/3/2022).

Baca Juga

Di sisi lain, Hasto mendukung ajakan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat agar masyarakat melakukan budidaya dan mengkonsumsi tanaman kelor untuk menekan angka stunting yang tinggi di NTT. "Saya mendukung program yang digalakkan Pak Gubernur makan kelor karena kelor ditanam di sini juga bisa, tidak semua wilayah tapi bisa dan cocok," kata Hasto. 

Ia menjelaskan, tanaman kelor memiliki kandungan gizi yang lengkap dan lebih banyak dibandingkan tomat dan wortel, yakni mulai dari vitamin C, kalsium, dan asam folat. Karena itu, ia pun ingin mengkolaborasikan gagasan gubernur NTT tersebut dengan Kementerian Pertanian.

Dikutip dari siaran pers BKKBN, berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencatat angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen. Angka ini paling tinggi di Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia.Menurut Hasto, persoalan tingginya stunting di NTT bukan hanya masalah kesehatan dan kekurangan gizi, tetapi juga karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan. 

Selain itu, terdapat pula faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting. Ia mengatakan, langkah konkret yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting, yakni dengan melibatkan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja.

Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah. Pengkategorian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.

Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara juga memiliki prevalensi di atas  46 persen.

Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Nagekeo mendekati status merah.

Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau, yakni berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement