REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Pemerintah Jerman mengkritik keputusan Rusia menerapkan penggunaan mata uang rubel untuk pembelian gas dari negara tersebut oleh Uni Eropa. Berlin menilai, langkah itu merupakan pelanggaran kontrak.
“Pengumuman pembayaran dalam rubel adalah pelanggaran kontrak, dan kami sekarang akan mendiskusikan dengan mitra Eropa kami bagaimana kami akan bereaksi terhadap (keputusan) tersebut,” kata Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck, Rabu (23/3/2022).
Jerman diketahui mengimpor 55 persen pasokan gas alamnya dari Rusia sebelum negara tersebut menyerang Ukraina. Saat berbicara di parlemen pada Rabu pagi, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan, saat ini pemerintahannya berupaya untuk segera mengakhiri ketergantungan negara tersebut pada minyak, gas, dan batu bara Rusia.
Kendati demikian, dalam proses pemangkasan suplai komoditas energi dari Rusia, Jerman, termasuk negara Eropa lainnya, akan terdorong menuju lubang resesi. “Ratusan pekerjaan akan berada dalam bahaya, seluruh industri akan berada di tubir,” ujarnya.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengatakan, Rusia hanya akan menerima mata uang rubel untuk pembayaran gas dari "negara-negara tidak bersahabat", termasuk semua anggota Uni Eropa. Langkah itu diambil setelah Moskow menerima banyak sanksi atas invasi ke Ukraina. "Saya telah memutuskan untuk mengimplementasikan serangkaian kebijakan pada pembayaran pasokan gas kami ke negara-negara tak bersahabat ke rubel Rusia," kata Putin dalam rapat pemerintah yang disiarkan televisi pada Rabu.
Putin memerintahkan agar perubahan itu segera diimplementasikan dalam waktu satu pekan. Dia mengatakan, Rusia akan berhenti menerima pembayaran dengan mata uang lain yang selama ini telah "dikompromikan." "Rusia akan terus memasok gas dalam volume yang telah ditetapkan dalam kontrak sebelumnya," ujarnya.
Tidak lama setelah pengumuman tersebut disampaikan, nilai rubel menguat terhadap dolar AS dan euro.