REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Vladimir Putin mengumumkan Rusia hanya akan terima pembayaran gas dengan rubel tidak dengan euro atau dolar AS. Keputusan ini mengincar negara-negara Eropa "yang tidak bersahabat" karena sanksi-sanksi mereka atas invasi Rusia ke Ukraina.
Lalu apa dampaknya atas keputusan tersebut bagi dunia?
Rusia merupakan salah satu eksportir gas terbesar di dunia selain Qatar, Amerika Serikat (AS) dan Australia. Pada Kamis (24/3/2022) al Monitor melaporkan sejumlah negara Eropa sudah mempertimbangkan untuk mendapatkan gas dari Qatar dalam merespons perang di Ukraina.
Pada Selasa (21/3/2022) lalu Oilprice.com melaporkan Jerman akan mulai mengambil gas dari Qatar setelah negara-negara Teluk meningkatkan pasokannya. Ini bukan pertama kalinya Eropa mempertimbangkan untuk mengambil pasokan dari Qatar.
Pada bulan Januari lalu AS sudah mencoba membujuk Qatar untuk mempertimbangkan mengirim lebih banyak gas ke Eropa. Saat al-Monitor melaporan para pengamat menilai rencana itu akan melibatkan pengiriman gas dengan kapal dan menunda pengiriman pasokan konsumen Qatar di Asia.
Keputusan Putin ini salah satu dari beberapa cara yang dapat mengancam supremasi dolar AS. Arab Saudi juga dikabarkan akan menerima pembayaran minyak dari China dengan yuan.
Dalam pidato Putin, langkah ini belum berlaku pada ekspor minyak Rusia. Banyak negara-negara Timur Tengah yang memproduksi minyak mereka sendiri. Tapi Turki juga mengimpor sebagian minyaknya dari Rusia. Harga minyak internasional juga biasanya menggunakan dolar AS.
Sebelumnya dilaporkan dalam pernyataan yang disiarkan televisi Putin mengatakan negara-negara Eropa yang menerapkan sanksi-sanksi pada Moskow harus membayar pasokan gas mereka dalam mata uang rubel. Kebijakan itu mulai berlaku dalam satu pekan mendatang.
”Saya telah memutuskan untuk menerapkan serangkaian kebijakan untuk mentransfer pembayaran pasokan gas kami ke negara-negara yang tidak bersahabat ke dalam mata uang rubel Rusia,” kata Putin.