Kamis 24 Mar 2022 18:45 WIB

Pengadilan Prancis Batalkan Keputusan Penutupan Masjid Al Farouk

Pengadilan Prancis membatalkan keputusan pemerintah untuk menutup Masjid Al Farouk.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Agung Sasongko
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.
Foto: Christophe Petit/EPA
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pengadilan Prancis membatalkan keputusan pemerintah untuk menutup sebuah masjid di dekat kota Bordeaux, Rabu (23/3) waktu setempat. Pengadilan Administratif Bordeaux membatalkan keputusan Gubernur Gironde yang dibuat 14 Maret lalu, untuk menutup masjid selama enam bulan.

Pengacara asosiasi Masjid Al Farouk, Sefen Guez Guez, mengatakan keputusan pengadilan merupakan langkah melawan penutupan masjid yang “tidak adil” dalam beberapa tahun terakhir. Guez menambahkan umat Islam masih bisa berkumpul di masjid.

Baca Juga

Dilansir di Anadolu Agency, Kamis (24/3/2022), Masjid Al Farouk di distrik Pessac dekat kota Bordeaux ditutup karena diduga membela Islam radikal dan menyebarkan ideologi Salafi.

Pada bulan Agustus, otoritas konstitusional tertinggi Prancis menyetujui undang-undang “anti-separatisme” kontroversial yang telah dikritik karena memilih Muslim, hanya menjatuhkan dua pasalnya. RUU itu disahkan oleh Majelis Nasional pada bulan Juli, meskipun ada tentangan kuat dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri.

Pemerintah mengklaim undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis. Tetapi, para kritikus percaya adanya undang-undang itu akan membatasi kebebasan beragama dan meminggirkan Muslim.

Undang-undang tersebut telah dikritik karena menargetkan komunitas Muslim Prancis, yang terbesar di Eropa dengan 3,35 juta anggota. Tak hanya itu, keberadaan undang-undang ini juga dinilai seolah memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan mereka.

Aturan ini memungkinkan pejabat untuk campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka, serta mengontrol keuangan asosiasi yang berafiliasi dengan Muslim dan organisasi non-pemerintah (LSM). Hal ini juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat homeschooling tunduk pada izin resmi.

Berdasarkan undang-undang itu, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau lainnya.

Prancis telah dikritik oleh organisasi internasional dan LSM, terutama PBB, karena menargetkan dan meminggirkan Muslim dengan hukum.

Sejak Februari 2018, Prancis telah mengendalikan hampir 25.000 masjid, sekolah, asosiasi, dan tempat kerja dan menutup 718 di antaranya, termasuk lebih dari 20 masjid, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada 2 Maret. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement