REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ratusan jeriken dibariskan memanjang di depan pom pengisian solar di SPBU Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Kamis (24/3/2022). Jeriken kosong itu dibariskan oleh pemiliknya masing-masing untuk menunggu giliran diisi solar oleh pepawai SPBU.
Sedangkan pemiliknya, duduk-duduk di bawah pohon di sisi pom menghindari sengatan matahari sambil mengawasi antrian. Jika ada jeriken yang telah selesai diisi solar, mereka pun bergegas untuk menggeser jeriken mereka.
Hal itu seperti yang dilakukan Supini (40 tahun), warga Desa Limbangan. Dia menaruh dua jeriken kosong, masing-masing berukuran 20 liter, di dalam barisan itu sejak pukul 08.00 WIB. Hingga pukul 12.30 WIB, jerikennya masih berada di urutan belakang.
"Biasanya baru kebagian pukul tiga sore (15.00 WIB) atau empat sore (16.00 WIB),’’ kata Supini kepada Republika, Kamis (24/3/2022).
Selain jeriken nelayan, pom itu juga melayani pengisian solar pada kendaraan lainnya, terutama truk, tangki, dan mobil elf. Pelayanan pada kendaraan-kendaraan itu akan diutamakan dan jeriken harus mengalah. Hal itulah yang menyebabkan pengisian solar pada jeriken nelayan menjadi sangat lama.
Supini menuturkan, agar mendapat antrian di baris depan, maka harus sudah mulai mengantri di SPBU sejak sebelum Subuh, bahkan pada sore hari di hari sebelumnya. Namun, dia baru bisa menaruh jerikennya dalam antrian pada pukul 08.00 WIB karena sibuk berjualan sarapan terlebih dulu di rumahnya.
Dengan mengayuh sepeda dari rumahnya, Supini mengantarkan jerikennya ke SPBU Limbangan agar masuk dalam antrian. Setelah itu, dia kembali ke rumahnya dulu untuk mencuci baju, bersih-bersih rumah, memasak maupun menyiapkan makan siang untuk dua anaknya.
Anak yang lebih besar, sudah kelas tiga sekolah dasar (SD) dan pulang sekolah pukul 10.00 WIB. Sedangkan anak yang lebih kecil, baru berumur tiga tahun. Supini menitipkan anak kecilnya itu pada anaknya yang lebih besar. Setelah itu, dia kembali berangkat ke SPBU untuk menunggui antrian jerikennya.
"Mereka saya tinggalin berdua di rumah. Tapi sudah saya siapkan makan siangnya, uang jajannya, dan HP (handphone) agar mereka tidak bosan di rumah selama saya tinggalkan,’’ tutur Supini, sambil mengelap peluh yang membasahi wajahnya.
Sedangkan suami Supini, berangkat melaut sejak pukul 03.00 WIB dan biasanya baru pulang ke rumah pukul 14.00 WIB. Karena itu, dia rela mengantri solar di SPBU agar suaminya bisa memperoleh solar untuk kebutuhan melaut keesokan harinya.
"Kalau suami saya yang mengantri solar setelah dia pulang melaut, ya enggak akan kebagian, sudah habis. Nanti dia tidak bisa melaut karena solarnya tidak ada,’’ tukas Supini.
Supini biasa membeli solar senilai Rp 200 ribu. Dengan harga solar subsidi sebesar Rp 5.150 per liter, solar yang diperolehnya hampir 40 liter. Solar itu cukup untuk membuat kapal kecil milik suaminya berangkat melaut selama sehari.
Supini sebenarnya ingn membeli solar lebih banyak, setidaknya untuk kebutuhan melaut selama dua hari agar dia tidak mengantri di SPBU setiap hari. Namun, penghasilan suaminya dari menangkap sontong, hanya cukup untuk membeli solar untuk kebutuhan melaut sehari.
Hal serupa juga dilakukan Tasini (45), seorang istri nelayan di Desa Limbangan. Demi memperoleh 40 liter solar untuk kapal suaminya, dia bahkan membariskan jerikennya pada antrian di SPBU sejak pukul 04.00 WIB. Setelah selesai Shalat Subuh, dia kembali ke SPBU untuk mengawasi antrian jerikennya.
"Kalau tidak diawasi, suka disalip oleh yang lain. Akhirnya malah bisa saling bertengkar rebutan antrian,’’ kata Tasini.
Dengan mengantri sejak pukul 04.00 WIB, jeriken milik Tasini sudah berada di barisan depan pada pukul 12.30 WIB. Dia pun sudah tak sabar ingin segera pulang untuk selanjutnya mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Supini dan Tasini mengatakan, kesulitan memperoleh solar itu sudah mereka alami sejak sebulan terakhir. Mereka berharap, pemerintah bisa menambah pasokan solar di SPBU tersebut agar mereka tak perlu lagi mengantri berjam-jam.
Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Indramayu, Dedi Aryanto, membenarkan hal itu. Dia mengatakan, susahnya nelayan kecil memperoleh solar sudah terjadi sejak sebulan yang lalu.
"Pembelian antri. Dan jika tidak kebagian jatah solar, maka terpaksa nelayan tidak bisa melaut,’’ kata Dedi.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum diperoleh konfirmasi dari pihak Pertamina. Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat, Eko Kristiawan, belum dapat dihubungi. Pesan yang dikirimkan Republika pun belum dibalas.