REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (P2W BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan, warga Papua terutama yang tinggal di Pegunungan mengaku merasa paling aman di tempat yang tidak ada aparat TNI maupun Polri. Hal itu terungkap dalam observasinya bersama tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018 ke beberapa wilayah seperti Lembah Baliem, Jayawijaya, Papua.
"Mereka mengatakan begitu, suatu kampung, suatu tempat, yang tidak ada TNI atau Polri itu adalah tempat yang paling aman di Papua," ujar Cahyo dalam diskusi daring pada Kamis (24/3).
Dia kemudian melanjutkan, adanya rencana pemekaran wilayah di Papua membuat warga maupun masyarakat adat khawatir akan terjadi penambahan aparat TNI/Polri. Padahal, memoria passion serta trauma psikologis masih ada dan akan terus menumpuk.
Cahyo menjelaskan, memoria passionis ialah ingatan kolektif yang tidak tertuliskan di kalangan orang Papua mengenai sejarah penderitaannya dari masa lalu sampai masa sekarang yang dikomunikasikan atau ditransfer dari satu generasi ke generasi penerusnya. Karena itu, kata dia, jika ada pemekaran daerah rekomendasinya adalah tidak boleh ada penambahan aparat TNI/Polri.
"Kalau pun pemekaran ada, tidak boleh ada penambahan kodam, tidak boleh ada penambahan kodim, tidak boleh ada penambahan polda atau polres. Misalnya satu, pemekaran boleh tapi tidak boleh ada penambahan organda (organisasi angkatan darat), organisasi militer, tidak boleh ada penambahan pasukan," tutur Cahyo.
Selain itu, dia menyarankan agar ada pembatasan pengisian birokrasi atau pejabat non-Papua di daerah otonomi baru (DOB). Namun, dia sendiri tidak yakin apakah hal tersebut bisa dijamin atau tidak, karena pemerintah pusat selalu akan beralasan sumber daya manusia (sdm) tidak mencukupi.
Misalnya saja, apa ada jaminan sebagian besar posisi kepala dinas di DOB Provinsi Papua Selatan akan dijabat oleh warga Mappi, Asmat, atau Boven Digoel. Menurut Cahyo, mungkin ada sumber daya manusia di sana tapi tidak dipastikan pemerintah bisa mengendalikannya.
Oleh karena itu, sebelum aturan mengenai pemekaran wilayah di Papua itu diundangkan, DPR perlu melakukan konsultasi yang bersifat inklusif. Wakil rakyat harus mengakomodasi semua aspirasi masyarakat Papua.
"Perlu adanya konsultasi publik yang bersifat inklusif untuk mendengarkan aspirasi-apsirasi politik yang menolak pemekaran di wilayah adat, sebelum pemekaran itu dilakukan," tutur Cahyo.
Dia menambahkan, pemekaran bisa saja dilakukan asal dikonsultasikan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang Papua. Menurutnya, MRP yang mengetahui batas-batas wilayah adat.
"Papua ini juga kan bukan tanah kosong, ada manusianya," kata dia.