Jumat 25 Mar 2022 18:06 WIB

Pakar UGM: Sebagai Ketua G20 Indonesia Bisa Ajak Rusia Duduk Bersama Setop Perang

Indonesia dinilai bisa memanfaatkan kedekatan dengan China dan Rusia.

Red: Teguh Firmansyah
Presiden RI Joko Widodo (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin
Foto: EPA
Presiden RI Joko Widodo (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA  -- Pakar perdagangan ekonomi dunia dan politik internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM),Riza Noer Arfani, menilai Indonesia dalam posisinya sebagai ketua G20 berpeluang menjadi juru runding penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Langkah sebagai mediator sesuai dengan prinsip politik bebas aktif.

"Ini sekaligus saatnya menunjukkan secara nyata prinsip politik bebas aktif kita, apalagi dalam pembukaan UUD 1945 kita berkomitmen menjaga perdamaian dan ketertiban dunia," kata dia, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, Kamis (24/3/2022).

Baca Juga

Pernyataan Presiden Joko Widodo di Twitter yang meminta peperangan dihentikan, menurut dia, masih memerlukan sikap berkelanjutan dengan mempertemukan negara-negara yang berkonflik dalam meja perundingan. Menurut dia, Indonesia sebagai ketua G20 periode ni bisa mengajak Turki, China, dan Rusia untuk duduk bersama membahas progres perbaikan ekonomi jika konflik itu berlarut-larut.

Arfani mengatakan Indonesia dapat memanfaatkan kedekatan dengan China atau Rusia untuk mengupayakan gencatan senjata dan mendudukan keduanya di meja perundingan."Jika perlu menggandeng India yang akan memegang keketuaan G20 berikutnya setelah Indonesia atau Brazilsebagai ketua berikut G20 setelah India, jadi diperlukan langkah-langkah luar biasa untuk diplomatik," ujar dia.

Menurut dia, jika konflik berlarut-larut maka kondisi geopolitik dan geoekonomi secara global bisa terdampak cukup serius, termasuk dampaknya bagi negara-negara di Asia Tenggara. "Dari sisi geopolitik persaingan negara-negara barat dengan Rusia akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Selama ini kita melihat Rusia sebagai pewaris negara adikuasa Uni Sovyet. Mereka nampaknya menginginkan status itu tetap ada," kata dia.

Meski tidak secara langsung, kata dia, konflik itu bisa berdampak pada perekonomian Indonesia karena suplai bahan makanan terutama gandum masih bergantung pada kedua negara yang tengah berkonflik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement