REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ramadhan tinggal menunggu hari. Beberapa kalangan terbiasa dengan saling meminta maaf dan memaafkan jelang Ramadhan. Apakah tradisi semacam ini pernah ada contohnya pada masa Rasulullah SAW?
Peneliti di Rumah Fiqih, Ustadz Ahmad Zarkasih, menjelaskan hal ini dengan merujuk hadits Nabi Muhammad SAW. Ketika Rasulullah SAW sedang berkhutbah Jumat, beliau mengatakan ‘amin’ sebanyak tiga kali, dan para sahabat yang mendengarnya terkejut dan spontan mengatakan ‘amin’ pula, meski mereka bingung mengenai alasan Rasulullah SAW mengucapkan ‘amin’ hingga tiga kali.
Ketika selesai sholat Jumat, mereka bertanya kepada Rasulullah, dan beliau menjelaskan, “ketika aku sedang berkhutbah, Jibril datang dan berbisik, hai Rasulullah, amin-kan doaku ini.”
Doa yang dipanjatkan Jibril adalah, “Ya Allah tolong abaikan puasa umat Muhammad apabila sebelum memasuki Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal berikut, yaitu memohon maaf terlebih dulu pada kedua orang tudanya (jika masih hidup), bermaafan antara suami istri, dan bermaafan dengan orang-orang sekitarnya.”
Meski begitu digolongkan sebuah suatu kebaikan yang dianjurkan, namun Ustadz Ahmad Zarkasih menjelaskan bahwa meminta maaf atau bermaaf-maafkan bukan hanya perlu dilakukan menjelang Ramadhan, karena ibadah tersebut tidak memiliki batasan waktu.
“Meminta maaf itu kebaikan yang tidak pernah dibatasi oleh waktu. Jadi kapan saja boleh, dan tidak perlu dicari dasar hukumnya, karena itu ibadah yang dianjurkan,” kata peneliti di Rumah Fiqih Indonesia kepada Republika.co.id, Sabtu (26/3/2022).
Tradisi meminta maaf melalui sosial media atau pesan elektronik, kata dia, juga tidak perlu dijadikan persoalan serius. “Bukan masalah, karena banyak di antara kita yang berinteraksi dengan khalayak di media sosial, dalam bentuk itu dimana interaksi dilakukan secara general tanpa ditentukan personalnya,” jelasnya.
Adapun pelabelan bidah pada ucapan-ucapan permohonan maaf melalui media sosial, kata Ustadz Zarkasih, tidak memiliki sandaran hukum syariatnya. “Penyematan kata bidah pada sesuatu yang dijadikan ibadah ritual, sama halnya membuat sholat Ashar menjadi lima rakaat dengan sengaja,” kata dia.
“Meminta maaf itu sendiri kebaikan yang dalam syariat, dia dianjurkan. Dan syariat juga tidak pernah membatasi kapan itu dilakukan.”
Penjelasan mengenai anjuran maaf-memaafkan juga dijelaskan Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang pernah mempunyai kezaliman terhadap seseorang, baik terhadap kehormatannya atau apapun, maka minta halallah darinya hari ini! Sebelum tidak ada dinar dan dirham, yang ada adalah jika dia mempunyai amal saleh, maka akan diambil darinya sesuai dengan kezalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambilkan dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya.” (HR Bukhari No 2449).