REPUBLIKA.CO.ID, VATICAN CITY -- Para pemimpin masyarakat adat dan para penyintas dari sekolah-sekolah asrama dari Kanada bertemu dengan Paus Fransiskus pada Senin (29/3/2022). Mereka menaruh harapan mendapatkan permintaan maaf secara resmi atas pelanggaran yang dilakukan oleh para pemimpin ajaran Katolik.
Pertemuan tersebut yang sebelumnya tertunda dari Desember karena pandemi ini merupakan upaya gereja dan pemerintah Kanada menanggapi tuntutan masyarakat adat akan keadilan dan reparasi. Tuntutan lama ini kembali tersorot setelah ditemukannya ratusan kuburan tak bertanda di luar beberapa sekolah.
Dalam wawancara dengan Associated Press ketika tiba di Roma pada Ahad (27/3/2022), para pemimpin masyarakat Pribumi ini menyatakan harapan bahwa Paus Fransiskus akan meminta maaf. Meskipun tujuan utama mereka adalah untuk memberi tahu Paus tentang kisah-kisah rakyat dan pelanggaran yang diderita.
"Sebagian besar pertemuan kami akan mengangkat suara para penyintas kami," kata presiden Dewan Nasional Metis Cassidy Caron.
Caron menyiapkan sepasang mokasin merah dengan manik-manik untuk diberikan kepada Paus. Menurutnya hadiah itu sebagai tanda kesediaan kelompok Metis untuk memaafkan jika ada tindakan dilakukan oleh gereja.
"Pewarna merah mewakili bahwa meskipun Paus Fransiskus tidak mengenakan pakaian tradisional, sepatu kepausan merah, dia berjalan dengan warisan orang-orang yang datang sebelum dia, yang baik, yang hebat dan yang mengerikan," ujar keterang penjelasan dari barang tersebut.
Paus telah menyisihkan beberapa jam pada pekan ini untuk bertemu secara pribadi dengan delegasi dari First Nations, Metis dan Inuit, dengan pendampingan konselor kesehatan mental di ruangan untuk setiap sesi. Delegasi kemudian berkumpul sebagai kelompok untuk audiensi yang lebih formal, dengan Fransiskus menyampaikan sebuah pidato resmi pada Jumat (1/4).
Lebih dari 150.000 anak pribumi dipaksa menghadiri sekolah Kristen yang didanai negara dari abad ke-19 hingga 1970-an. Tindakan itu untuk mengisolasi mereka dari pengaruh rumah dan budaya mereka. Upaya mengkristenkan dan mengasimilasi mereka ke dalam masyarakat arus utama ini dilakukan karena dianggap lebih unggul oleh pemerintah Kanada di masa itu.
Pemerintah Kanada telah mengakui bahwa pelecehan fisik dan seksual merajalela. Para siswa dipukuli karena berbicara bahasa asli. Hampir tiga perempat dari 130 sekolah asrama itu dijalankan oleh kongregasi misionaris Katolik.