Selasa 29 Mar 2022 07:50 WIB

Negara G7 Tolak Kebijakan Pembayaran Gas Rusia dengan Mata Uang Rubel

Negara-negara Eropa berlomba untuk mengurangi ketergantungan pada impor energi Rusia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Kapal tanker Sun Arrows memuat muatannya berupa gas alam cair dari proyek Sakhalin-2 di pelabuhan Prigorodnoye, Rusia, pada Jumat, 29 Oktober 2021. Negara anggota Kelompok Tujuh (G7) memprotes keputusan Rusia yang mewajibkan pembayaran gas dengan mata uang rubel.
Foto: AP/AP
Kapal tanker Sun Arrows memuat muatannya berupa gas alam cair dari proyek Sakhalin-2 di pelabuhan Prigorodnoye, Rusia, pada Jumat, 29 Oktober 2021. Negara anggota Kelompok Tujuh (G7) memprotes keputusan Rusia yang mewajibkan pembayaran gas dengan mata uang rubel.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Negara anggota Kelompok Tujuh (G7) memprotes keputusan Rusia yang mewajibkan pembayaran gas dengan mata uang rubel. Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck mengatakan, keputusan ini menunjukkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan pelanggaran sepihak. 

“Semua menteri (energi) G7 setuju bahwa ini adalah pelanggaran sepihak dari perjanjian yang ada. Pembayaran dalam rubel tidak dapat diterima, dan kami meminta perusahaan terkait untuk tidak memenuhi permintaan Putin," ujar Habeck, dilansir Aljazirah, Selasa (29/3/2022).

Baca Juga

Seperti negara-negara Eropa lainnya, Jerman berlomba untuk mengurangi ketergantungannya pada impor energi Rusia setelah perang Ukraina. "Jerman harus melepaskan diri dari minyak, gas, dan batu bara Rusia agar tidak memperkuat rezim (Putin), dan karena Moskow telah menyatakan dirinya sebagai pemasok yang tidak dapat diandalkan," kata Habeck.

Berlin dengan cepat menghentikan pipa gas Nord Stream 2 dengan Rusia sebagai protes atas agresi Putin ke Ukraina. Tetapi pemerintah Jerman sejauh ini menolak seruan untuk memberlakukan embargo pada impor energi Rusia, karena dapat menjerumuskan ekonominya ke dalam kekacauan.

Negara anggota G7 terdiri dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengutarakan penolakan pembayaran gas Rusia dengan mata uang rubel.

"Langkah Rusia tidak sejalan dengan apa yang telah ditandatangani, dan saya tidak melihat mengapa kami akan menerapkannya,” kata Macron.

Pekan lalu, Putin mengatakan, Rusia hanya akan menerima pembayaran dengan mata uang rubel untuk pengiriman gas alam ke "negara-negara yang tidak bersahabat", yang mencakup semua anggota Uni Eropa. Para ekonom mengatakan, langkah itu dirancang untuk mendukung nilai mata uang rubel, yang telah jatuh terhadap mata uang asing sejak Rusia melakukan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari. 

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, ditanya apakah Rusia dapat memotong pasokan gas alam ke Eropa jika mereka menolak permintaan untuk membayar dalam rubel. Menjawab pertanyaan tersebut, Peskov mengatakan bahwa, Rusia tidak akan memasok gas secara gratis.

“Dalam situasi ini, hampir tidak mungkin kami terlibat dalam kegiatan amal untuk Eropa,” kata Peskov.

Kebijakan pembayaran gas dengan rubel dilakukan ketika Moskow berjuang untuk menopang ekonominya. Moskow menghadapi sanksi yang dijatuhkan oleh Barat atas invasinya ke Ukraina. Sanksi ini berpotensi menjatuhkan pertumbuhan ekonomi Rusia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement