Selasa 29 Mar 2022 23:05 WIB

Inggris: Kesepakatan Damai dengan Rusia tak Boleh Jual Ukraina

Setiap kesepakatan damai dengan Rusia tidak boleh “menjual” Ukraina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan, setiap kesepakatan damai dengan Rusia tidak boleh “menjual” Ukraina
Foto: AP/Olivier Matthys/Pool AP
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan, setiap kesepakatan damai dengan Rusia tidak boleh “menjual” Ukraina

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan, setiap kesepakatan damai dengan Rusia tidak boleh “menjual” Ukraina. Kesepakatan pun harus mencakup ketentuan tentang penerapan sanksi secara otomatis jika Moskow kembali bertindak agresif.

“(Presiden Rusia Vladimir) Putin baru saja kembali untuk meminta lebih. Itulah mengapa kita tidak bisa membiarkan dia menang dari agresi yang mengerikan ini. (Sebaliknya), kita perlu memastikan bahwa setiap pembicaraan di masa mendatang tidak berakhir dengan menjual Ukraina,” kata Truss saat berbicara di parlemen Inggris, Senin (28/3/2022).

Dia berpendapat, kesepakatan jangka panjang apa pun dengan Rusia memerlukan ketentuan sanksi otomatis jika negara tersebut kembali melakukan agresi. “Kita perlu memastikan bahwa Putin tidak akan pernah bisa bertindak agresif lagi,” ujarnya.

Delegasi Rusia dan Ukraina diagendakan melanjutkan pembicaraan damai di Istanbul, Turki, pada Selasa (29/4). “Pembicaraan antara delegasi (Rusia-Ukraina) dimulai pada Selasa (29/3/2022). Mereka akan diadakan di kantor kepresidenan Dolmabahce. Pertemuan akan diadakan secara tertutup,” kata kantor kepresidenan Turki pada Senin, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Turki diketahui merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kendati demikian, mereka menjadi salah satu negara yang aktif melakukan mediasi antara Rusia dan Ukraina. Putaran pertama pembicaraan antara delegasi Rusia dan Ukraina digelar di wilayah Gomel, Belarusia, pada 28 Februari lalu. Pembicaraan tersebut berlangsung selama lima jam. Kala itu, Moskow dan Kiev tak berhasil menyepakati gencatan senjata.

Delegasi kedua negara menggelar pembicaraan lanjutan di Belovezhskaya Pushcha, Belarusia, pada 3 Maret lalu. Hingga pembicaraan putaran ketiga yang gelar di Brest, Belarusia, pada 7 Maret lalu, Rusia dan Ukraina belum berhasil menyepakati gencatan senjata. Setelah negosiasi tiga putaran, pembicaraan selanjutnya digelar secara daring atau virtual.

Pada 10 Maret lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov bertemu Menlu Ukraina Dmitry Kuleba di forum diplomatik Antalya di Turki. Itu merupakan pertemuan perdana kedua menlu sejak Rusia melancarkan serangan ke Ukraina pada 24 Februari.

Sebelum bertemu Lavrov di Antalya, Kuleba telah meredam ekspektasi tentang keberhasilan menyepakati kesepakatan gencatan senjata. Menurut Kuleba, prospek tersebut "terbatas" karena Moskow masih terus melakukan serangan dan pemboman ke Ukraina.

Pemerintah Rusia sebenarnya telah menyatakan siap melakukan pembicaraan dengan Ukraina. Namun mereka menghendaki semua tuntutannya, termasuk soal Ukraina mengambil posisi netral dan membatalkan aspirasinya bergabung dengan NATO, dipenuhi. Jika Kiev setuju memenuhi tuntutan tersebut, Moskow akan menghentikan agresinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement