Selasa 29 Mar 2022 19:27 WIB

Kepala Satpol PP DKI 'Curhat' Kerap Talangi Sanksi Denda Pelanggar tak Mampu

Kepala Satpol PP DKI Jakarta curhat kerap talangi sanksi denda pelanggar tak mampu.

Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin curhat kerap talangi sanksi denda pelanggar tak mampu.
Foto: Eva Rianti
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin curhat kerap talangi sanksi denda pelanggar tak mampu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satpol PP DKI Jakarta kerap menalangi sanksi denda bagi pelanggar Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 yang tidak mampu membayar kewajiban.

"Jadi sungguh sangat aneh ketika kami menegakkan perda, memberikan efek jera, kepada masyarakat ternyata yang bayar anggota (Satpol PP) juga," kata Kepala Satpol PP DKI Arifin pada Forum Revisi Perda di Jakarta, Selasa (29/3/2022).

Baca Juga

Pasalnya, lanjut dia, kendala itu terjadi justru karena terganjal Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Namun, Arifin tidak membeberkan berapa nominal dana yang sudah ditalangi para anggota Satpol PP di Jakarta untuk membayar denda pelanggar yang tidak mampu itu mengingat perda tersebut sudah ada sejak 2007.

Dia menjelaskan ketika menegakkan perda, maka pelanggar akan menjalani Sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Dalam perda itu disebutkan bahwa sanksi pelanggar adalah pidana denda dengan ketentuan minimum dan maksimum bahkan pidana kurungan.

Praktiknya di lapangan ternyata menemui kendala karena ketika pengadilan memutuskan pidana denda misalnya Rp 500 ribu, pelanggar tersebut tidak mampu membayar.Ketika akan menyita barang, lanjut dia, tidak masuk kriteria atau belum sesuai dengan nilai denda.

Begitu juga apabila dikenakan sanksi kurungan, kata dia, mereka tidak bisa ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) karena hanya menerima pelanggaran tindak pidana umum bukan pelanggaran perda.

Untuk itu, ia memiliki gagasan apabila tidak bisa diterima di lapas, maka pelanggar perda dapat dititipkan di panti sosial yang perlu dimasukkan dalam klausul perda hasil revisi.

"Apakah kemudian kami bisa memasukkan dalam klausul pasal itu menitipkan melalui panti sosial kami misalnya dalam waktu sekian hari, sehingga mungkin itu bisa diterima dalam bentuk pembinaan di panti," ucapnya.

Untuk itu, pihaknya mengusulkan untuk dilakukan revisi terhadap Perda Nomor 8 tahun 2007 tersebut karena dinilai sudah tidak relevan lagi. Tak hanya soal sanksi, lanjut dia, beberapa aturan di perda itu juga diusulkan perlu direvisi di antaranya terkait pasal 25 ayat 1 yang memberikan kewenangan kepada gubernur menetapkan bagian trotoar untuk pedagang kaki lima.

"Ternyata ada putusan Mahkamah Agung yang menganulir dan kemudian mencabut bunyi putusan itu yang harusnya itu tidak bisa digunakan lagi," ucapnya.

Kemudian, lanjut dia, aturan lain yang diusulkan untuk direvisi adalah soal aturan lalu lintas "Three in One" yang saat ini sudah tidak berlaku namun menjadi ganjil genap. "Ini mau tidak mau harus kami ubah," ucapnya.

Sementara itu, terkait usulan revisi perda itu, saat ini pihaknya masih menyusun dalam bentuk naskah akademik dengan mendengarkan masukan dari sejumlah pihak dan tokoh masyarakat.

"Setelah ini dibuatkan draft atau rancangan perda. Kalau sudah siap, kami sampaikan ke Bapemperda(Badan Pembentukan Perda) untuk dibahas," ucapnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement