Selasa 29 Mar 2022 19:51 WIB

MK Gelar Sidang Putusan 10 Perkara Termasuk Uji Materi UU Pemilu

MK menjatuhkan putusan UU Pemilu mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden

Rep: Mimi Kartika/ Red: Christiyaningsih
 Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022).
Foto: MK
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022). Setengah perkara yang diadili merupakan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Namun dari kelima gugatan UU Pemilu, hanya satu yang dikabulkan MK, itu pun sebagian permohonan. Sedangkan sisanya tidak dapat diterima serta ada pula yang permohonannya ditarik oleh pemohon.

Baca Juga

Permohonan yang dikabulkan sebagian oleh MK ialah perkara nomor 32/PUU-XIX/2021. Perkara ini diajukan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman periode 2017-2022 yang mempersoalkan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu yang menyebut putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat.

"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang diakses melalui siaran langsung Youtube MK, Selasa.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 10 mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN."

Hakim MK Suhartoyo menjelaskan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut. Putusan DKPP dan keputusan tindak lanjutnya dapat dijadikan objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP.

Putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat adalah presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada PTUN.

"Dengan demikian dalam konteks ini, presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP," jelas Suhartoyo.

Sebelum memutus perkara nomor 32/PUU-XIX/2021, MK juga telah membaca dan mendengar keterangan DPR dan presiden. Termasuk, keterangan tertulis yang disampaikan DKPP sebagai pihak terkait.

Sebelumnya, Evi dan Arief menilai pelaksanaan ketentuan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu merugikan hak konstitusionalnya. Keberadaan pasal ini  masih menjadi dalil DKPP atau setidaknya sejumlah anggota DKPP untuk tidak mengakui Evi sebagai anggota KPU RI yang sah.

Memang sebelumnya Evi pernah diberhentikan dengan keputusan presiden (Kepres) atas tindak lanjut putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Namun tak tinggal diam, Evi menggugat Kepres tersebut ke PTUN Jakarta. Hingga akhirnya PTUN mengabulkan permintaan Evi dan membatalkan Kepres mengenai pemberhentian dirinya sebagai anggota KPU.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak mengajukan banding sehingga putusan PTUN telah berkekuatan hukum tetap. KPU menganggap Evi tidak jadi diberhentikan dan masih menjadi anggota KPU RI periode 2017-2022.

Atas persoalan Evi dan DKPP tersebut, DKPP kemudian menjatuhkan sanksi kepada Arief Budiman yang melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena ikut mendampingi Evi Novida di PTUN Jakarta. Sedangkan, Arief berpendapat sikapnya itu hanya sebagai bentuk kepedulian dari kolega.

Pengujian atas norma putusan DKPP yang final dan mengikat sudah pernah digugat sebagaimana putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 pada 3 April 2014. Dalam putusannya, MK menyatakan sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, serta Bawaslu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement