Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Selalu ada cerita yang tersisa dari perhelatan Piala Oscar. Tahun ini, insiden komedian Chris Rock ditabok Will Smith menjadi berita terpanas.
Smith awalnya ikut tertawa ketika Rock melontarkan lelucon sebelum membacakan kategori Film Dokumenter Terbaik. Korban roasting Rock kali ini adalah aktris Jada Pinkett Smith, dengan kepala plontosnya.
Rock mengaitkan botaknya istri Will Smith itu dengan sekuel G.I. Jane, film yang ngehits pada 1997 itu menampilkan Demi Moore yang rambutnya dicukur habis untuk berperan sebagai prajurit AS.
Berbeda Jada Pinkett Smith gundul karena perjuangannya dengan alopecia. Penyakit autoimun menyebabkan rambutnya rontok.
Dari rekaman acara, Smith tampak tidak melihat reaksi istrinya yang mengarahkan pandangannya ke atas lalu melengos, tanda tak terkesan dengan candaan Rock. Dalam hitungan detik, emosi Smith berubah drastis.
Smith yang duduk di baris depan tiba-tiba beranjak dari kursinya dan naik ke panggung. Tabokannya di pipi kiri Rock terdengar keras.
Penonton semula menyangka itu bagian dari pertunjukan. Apalagi, Smith setelahnya meraih Oscar lewat film King Richard.
Film yang mengisahkan tentang ayah dari dua petenis dunia, Serena dan Venus Williams itu menampilkan Smith sebagai pemeran Richard. Dalam pidatonya saat menerima Oscar, Smith memuji Richard sebagai sosok yang garang membela keluarga.
Faktanya, tabokan Smith bukan setting-an. Academy of Motion Picture Arts and Sciences memastikannya lewat cicitan resminya beberapa jam setelah acara bahwa tindakan aktor Men in Black itu tidak dapat dimaklumi.
Tindakan main tabok seperti yang dilakukan Smith di panggung Oscar memang tidak bisa dibenarkan. Meskipun dalihnya membela sang istri, menyerang secara fisik tetaplah salah.
Ada banyak cara lain yang lebih elok yang bisa ditempuh daripada main tabok. Smith tak akan "jatuh" di puncak kejayaannya kalau menggunakan momen itu untuk mengoreksi kesalahan Rock, entah dengan candaan atau penjelasan serius.
Smith sebetulnya punya peluang untuk menjadikan kata-kata Rock laksana bumerang. Di sisi lain, membuat lelucon mengenai kondisi seseorang dengan penyakitnya juga tak bisa dibiarkan.
Sebagai komedian papan atas Rock harusnya paham soal etika bercanda. Ironisnya, dia tetap menganggap leluconnya bagus karena itu tentang G.I.Jane.
Di Indonesia, autisme sempat jadi bahan candaan pelawak hingga masyarakat umum. Butuh waktu dan advokasi yang getol selama lebih dari satu dekade untuk membuat semua paham bahwa diagnosis gangguan perkembangan anak itu tidak seharusnya dikaitkan dengan perilaku jelek seseorang.
Demikian juga dengan mengolok-olok kondisi fisik. Bisa dibilang, itu level paling rendah dalam hal kualitas ide lawakan.
Tahun lalu, selebgram Anlieki juga pernah tersandung karena menjadikan gangguan mental skizofrenia sebagai bahan candaan dalam menanggapi pertanyaan follower-nya di Instagram. Dia lalu mengaku salah dan meminta maaf.
Sementara itu, bercanda soal pandemi pernah membuat komika Coki Pardede kena rujak warganet. Pada awal 2020, dia mencicit di Twitter dengan mengucapkan Gong Xi Fa Coi lalu bertanya, "apakah di Tiongkok pas amplop dibuka isinya virus corona? "
Sebagian warganet membela dengan menganggap cicitan itu sebagai dark jokes karena virus penyebab pandemi awalnya ditemukam di China. Namun, di mata komika Ernest Prakasa, komedi hitam tetap harus mengandung unsur komedi. Tanpa komedi maka celotehan Coki tidaklah lucu dan seperti mencari sensasi saja.
Menggunakan penyakit sebagai bahan candaan juga tidak bisa dianggap sebagai bad jokes alias candaan garing. Sebab, yang namanya penyakit, apapun itu, sama sekali bukan lelucon.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement