REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bareskrim Polri sudah menetapkan status tersangka terhadap pendeta Saifuddin Ibrahim. Peningkatan status hukum tersebut, terkait dengan penyidikan penistaan agama Islam. Namun penetapan tersangka tersebut, belum berujung pada penangkapan dan penahanan.
Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, penetapan status tersangka tersebut, dilakukan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Bareskrim Polri. “Dari informasi penyidik Dit Siber, sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak dua hari lalu (28/3),” kata Dedi, saat dikonfirmasi, Rabu (30/3).
Akan tetapi, dikatakan Dedi, saat ini tim penyidikan masih mencari tahu keberadaan pasti Saifuddin. Pekan lalu, Dit Siber Bareskrim Polri meminta bantuan, dan kordinasi dengan Imigrasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) untuk memastikan akses masuk Saifuddin ke luar negeri. Permintaan serupa juga dilakukan Bareskrim Polri ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Kata Dedi, permintaan, dan kordinasi tersebut karena ditengarai Saifuddin sedang berada di Amerika Serikat (AS). Kabar tentang keberadaan pendeta asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut di AS, juga meminta penyidik Dit Siber Bareskrim, berkordinasi dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk memastikan kabar keberadaan Saifuddin di AS. “Komunikasi intens dengan FBI mengingat keberadaan SI (Saifuddin Ibrahim) ada di luar neger (AS),” begitu kata Dedi, Rabu (23/3) lalu.
Penistaan agama yang dilakukan pendeta Saifudin ini terjadi pekan lalu, ketika ia menyampaikan terbuka, agar Kementerian Agama (Kemenag) menghapus 300 ayat suci dalam Alquran. Kata pendeta asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, 300 ayat dalam kitab suci agama Islam itu, adalah penyebab suburnya paham radikalisme dan terorisme di Indonesia. Saifudin Ibrahim juga mengatakan, pondok pesantren, dan madrasah yang ada di Indonesia merupakan lembaga pendidikan pencetak terorisme, dan radikalisme.
Pernyataan permintaan tersebut, dilayangkan Pendeta Saifudin Ibrahim via kanal media sosial (medsos) Youtube. Atas pernyataan tersebut, kalangan masyarakat mengecamnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan si pendeta yang dulunya dikabarkan bergama Islam tersebut layak untuk dipolisikan. Kecaman, pun datang dari Menteri Kordinator Polhukam Mahfud MD. Pada Rabu (16/3), lewat kanal Youtube Kemenko Polhukam, Mahfud MD, juga meminta agar Polri melakukan penegakan hukum terhadap Pendeta Saifudin Ibrahim. Karena menurut Mahfud MD, ucapan Saifuddin Ibrahim adalah contoh dari watak intelorensi di Indonesia.
Desakan dari Menko Polhukam tersebut, direspons Polri dengan melakukan penyelidikan. Pada Jumat (19/3), proses penyelidikan sudah memeriksa sejumlah ahli.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Brigjen) Ahmad Ramadhan, pekan lalu mengatakan, untuk sementara kasus yang menjerat Saifudin Ibrahim terkait dengan tuduhan dalam Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU 19/2006 tentang ITE. Dan Pasal 156 KUH Pidana, atau Pasal 156 a KUH Pidana, dan Pasal 14 ayat (1) ayat (2), serta Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal-pasal tersebut, menyangkut soal penistaan terhadap agama, ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antarkeyakinan.