REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Istana Kremlin mempertimbangkan memperluas pembayaran menggunakan rubel untuk ekspor minyak, biji-bijian, pupuk, batu bara, logam dan komoditas utama lainnya. Menurut juru bicara Kremlin Dmitry Peskov pada Rabu (30/3/2022) tindakan itu menjadi ide yang bagus dan harus dikerjakan.
Ide tercetus pertama kali oleh ketua majelis rendah parlemen Rusia Vyacheslav Volodin. Dia mengajukan agar pembayaran rubel dapat diperluas ke ekspor minyak, biji-bijian, logam, pupuk, batu bara, dan kayu ke Uni Eropa. Ditanya tentang komentar itu, Peskov mengatakan, idenya perlu direalisasikan.
Rusia mengatakan akan menyusun pengaturan praktis bagi perusahaan asing untuk membayar gas dalam mata uangnya pada Kamis (31/3/2022). "Jika Anda ingin gas, cari rubel," kata Volodin dalam sebuah posting di Telegram.
Peskov mengatakan bahwa peran dolar AS sebagai mata uang cadangan global telah terpukul dalam beberapa tahun terakhir. Langkah untuk menetapkan harga ekspor terbesar Rusia dalam rubel ini akan mendukung kepentingan dan kepentingan mitra Rusia.
Eropa sejauh ini menolak untuk membayar gas dalam rubel. Keputusan ini memicu kebuntuan yang menyebabkan Jerman melakukan peringatan dini bahwa negara itu bisa menuju keadaan darurat pasokan.
Jerman mengatakan tindakan peringatan dini dirancang untuk mempersiapkan kemungkinan gangguan atau penghentian aliran gas alam dari Rusia. Eropa mengimpor sekitar 40 persen gasnya dari Rusia dan membayar sebagian besar dalam euro. Wilayah itu mengatakan raksasa gas yang dikendalikan negara Rusia, Gazprom, tidak berhak mengatur ulang kontrak. Kelompok G7 juga menolak tuntutan Moskow tersebut.
Para pejabat Rusia telah berulang kali mengatakan upaya Barat untuk mengisolasi salah satu produsen sumber daya alam terbesar di dunia adalah tindakan merugikan diri sendiri. Keputusan ini dinilai tidak rasional karena akan menyebabkan melonjaknya harga bagi konsumen dan menyebabkan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat mengalami resesi.