REPUBLIKA.CO.ID, ZAPORIZHZHIA -- Milena Uralova yang berusia 11 tahun masih ingat bagaimana ia pingsan dan bangun melihat ibunya Yelena menangis. Ia terluka saat keluarganya berusaha melarikan diri dari Kota Mariupol, Ukraina, yang dikepung Rusia.
Kini Milena yang sedang menjalani masa pemulihan di rumah sakit anak di Zaporizhzhia, sekitar 200 kilometer dari Mariupol, mengingat kembali kejadian itu dengan tenang. Terdapat garis hijau di wajah dan lehernya sebagai tanda luka yang sedang dokter obati.
"Saya melihat kegelapan dan ada suara keras berdering di telinga saya, ketika saya membuka mata, saya melihat ibu saya memegang tangan saya, ia meletakan saya di tanah dan mulai menangis dan meminta pertolongan," katanya, Rabu (30/3/2022).
Yelena mengatakan Milena terluka ketika pasukan Rusia melepaskan tembakan saat keluarga mereka berjalan melalui pos pemeriksaan dalam perjalanan menuju Zaporizhzhia. Sebuah kota industri yang menjadi titik transit sebelum warga Mariupol meninggalkan kota itu.
Bus yang penuh dengan pengungsi tiba di kota itu sebelum kembali berjalan ke arah barat, bergabung dengan rombongan pengungsi lainnya. Sebanyak 44 juta warga Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menjadi pengungsi di daerah yang lebih aman baik di dalam maupun luar negeri.
Di sebelah Milena duduk Sasha yang juga dari Mariupol. Hidung anak laki-laki berusia 11 tahun itu dililit perban sebagai oleh-oleh serangan roket yang menghantamnya ketika ia sedang bermain bersama teman-temannya.
"Saya sangat takut, ada banyak darah di mana-mana," katanya.
Mariupol yang menghadap Laut Azov menjadi simbol penderitaan rakyat Ukraina dalam invasi Rusia. Kota pelabuhan itu telah dikepung pasukan Rusia selama satu bulan lebih.
Pihak berwenang Mariupol mencatat invasi yang Rusia sebut operasi militer khusus itu sudah menewaskan hampir 5.000 warga sioil. Termasuk 210 anak-anak.
Rusia membantah mengincar warga sipil tapi pihak berwenang setempat mengatakan hampir 80 persen kota itu hancur. PBB memperingatkan kondisi yang "sangat mengerikan" di Mariupol dan kota-kota lainnya.
Para pengungsi yang berhasil tiba di Zaporizhzhia bisa melalui perjalanan mengerikan dan berbahaya dengan mobil atau bus. Mereka melihat Mariupol berubah menjadi reruntuhan, tanpa air dan listrik, masyarakat memasak dengan kayu bakar dan minum air dari air hujan atau salju yang cair.
"Mariupol sudah tidak ada, hancur oleh bom," kata Katia Semeniuk, 77 tahun, duduk di tengah padatnya pasar swalayan yang diubah menjadi pusat penerimaan pengungsi untuk menerima makanan, pakaian hangat dan berbagai bantuan lainnya.