REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Senior Imparsial Al Araf menilai pembubaran ormas tanpa putusan pengadilan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sekalipun pemerintah memiliki wewenang untuk membubarkan ormas.
"Menurut saya pembubaran oleh pemerintah dalam negara hukum demokratis adalah satu bentuk pelanggaran prinsipil dari konstitusi dan hak asasi manusia," ujar Al Araf dalam siaran persnya, Rabu (30/3/2022).
Hal ini disampaikan Al Araf saat Launching Buku: Pembubaran Ormas, dan Diskusi Publik Problematika Pembubaran Ormas di Indonesia,
Dikatakannya, dalam HAM memang kebebasan berserikat bukan hak yang sifatnya nonderogable rights. "Derogable rights artinya yang sifatnya bisa dibatasi, tapi pembatasan hak asasi manusia itu harus jelas dan harus terukur," tambah Al Araf.
Pada tahun 2013, kata Al Araf sebenarnya sudah ada undang-undang ormas yang lebih baik. Undang-undang ini, kata Al Araf, merupakan koreksi terhadap Undang-Undang 8 tahun 1985 yang juga memberikan kewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas.
Dikatakannya, pada masa itu proses pembuatan UU melibatkan ormas seperti NU dan Muhammadiyah. Termasuk melibatkan mahasiswa. “Pembubaran ormas pun hanya boleh melalui pengadilan bagi mereka yang berbadan hukum,” paparnya.
Sampai akhirnya, menurut Al Araf, pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Perppu ini mengembalikan kewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas. Pembubaran HTI dan FPI yang kemudian terjadi.
Pada era itu, kata dia, tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Pilkada Jakart. “Kalau HTI tidak ikut-ikutan demo 212 dan lain sebagainya. Mungkin nggak ikut kena korban pembubaran juga," ungkapnya.
Diharapkam ada revisi terhadap UU itu. Sehingga tidak digunakan oleh kelompok yang berkuasa untuk membubarkan ormas yang menjadi oposisi.
Dalam diskusi ini hadir juga PP Muhammadiyah, Busro Muqodas; Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani; Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid, yang Hadir sebagai penanggap.