Kamis 31 Mar 2022 19:50 WIB

Cancel Culture yang tidak Berlaku di Pemilu Indonesia

Cancel culture adalah menarik dukungannya terhadap seorang tokoh yang kontroversial.

Cancel Culture yang tidak Berlaku di Pemilu Indonesia. Foto Ilustrasi Pemilu.
Foto: Dok Republika.co.id
Cancel Culture yang tidak Berlaku di Pemilu Indonesia. Foto Ilustrasi Pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ahmad Hidayah, Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

Beberapa waktu belakangan, istilah cancel culture ramai digunakan di media sosial. Cancel culture kerap digaungkan terhadap sejumlah tokoh publik tersandung skandal ataupun melanggar etika dan norma yang berlaku. Sebagai contoh, penulis JK Rowling pernah mengalami di-cancel oleh publik karena berkomentar terkait transphobia. Ataupun, publik figur Indonesia, Gofar Hilman yang mengaku mengalami cancel culture akibat dugaan kasus pelecehan seksual.

 

Pada dasarnya, tidak ada definisi yang baku untuk menjelaskan apa itu cancel culture. Namun, secara garis besar cancel culture dapat diartikan sebagai sebuah budaya di mana seseorang menarik dukungannya terhadap seorang tokoh atau perusahaan terkenal karena telah melakukan ataupun berbicara suatu hal yang dianggap kontroversial (Mills, 2022).

Meski sudah banyak contoh kasus di mana publik figur mengalami cancel culture, namun nampaknya hal ini tidak berlaku bagi para politisi ataupun partai politik di pemilu Indonesia. Sebagai contoh, pemilu tahun 1999 di mana menjadi pemilu pertama pasca reformasi, partai Golkar menjadi partai peringkat kedua pada pemilu tersebut. Walaupun tidak lagi menjadi partai pemenang, tetapi cancel culture dianggap tidak berlaku karena Golkar masih meraih 22,44 persen suara nasional atau 120 kursi di DPR RI.

Contoh lain, pada 2012 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus Aceng Hulik Munawar Fikri atau yang sering dikenal Aceng Fikri. Pada saat itu, Aceng Fikri yang merupakan Bupati Garut, menikah secara siri dengan seorang perempuan berusia 18 tahun. Ironisnya, perempuan ini diceraikan oleh Aceng Fikri setelah empat hari menikah hanya melalui pesan singkat karena dianggap sudah tidak perawan.

Akibat kasus ini, Aceng Fikri menjadi kepala daerah terpilih langsung pertama yang dimakzulkan secara paksa pada 1 Februari 2013. Mungkin pemakzulan terhadap Aceng Fikri dapat dikatakan sebagai sebuah cancel culture. Namun yang menarik perhatian adalah Aceng Fikri terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) di pemilu tahun 2014.  

Cancel culture nampaknya juga tidak berlaku bagi partai politik ataupun politisi yang terkena kasus korupsi. Sebagai contoh, kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, yang melibatkan petinggi partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum dan Nazaruddin.

Dilansir dari CNN Indonesia (31/03/2016), kerugian negara akibat kasus korupsi ini mencapai Rp 706 Miliar. Meski Demikian, sampai saat ini partai Demokrat masih eksis di pemerintahan.

Selain itu, cancel culture juga nampaknya tidak berlaku pada pemilu di tingkat lokal. Penelitian dari Tri Sulistyani (2019) dengan judul “Faktor Kualitas dan Kinerja Kandidat Tersangka Korupsi Dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Pada Pilkada Kabupaten Tulungagung Tahun 2018” yang berangkat dari fakta bahwa tepat sembilan belas hari menuju hari pemungutan suara, Syahri Mulyo, calon bupati Tulungangung, dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Namun, Syahri Mulyo tetap memenangkan pemilihan kepala daerah tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement