REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam draf rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) diatur ihwal jaksa yang dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk memerintahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menghapus informasi atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan terkait korban kekerasan seksual. Hal tersebut diatur dalam Pasal 38 draf RUU TPKS.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sondang Tiar Debora Tampubolon mengusulkan agar penghapusan konten pornografi agar tak menunggu putusan pengadilan. Pasalnya, hal tersebut dapat memengaruhi psikologi dari korban kekerasan seksual.
"Jadi kalau jaksa sudah mengirim surat kepada Kominfo untuk men-take down segala sesuatu yang terkait dengan korban kekerasan seksual dapat segera dilakukan," ujar Sondang dalam rapat pembahasan RUU TPKS bersama pemerintah, Kamis (31/3/2022).
Hal senada juga disampaikan oleh anggota Baleg Fraksi Partai Golkar Christina Aryani. Menurutnya, penghapusan dapat dilakukan sejak pelaporan untuk menghindari beredarnya konten tersebut ke publik.
"Ketika sudah diproses, lalu bersurat kepada Kominfo, dalam hal ini yang menerima laporan. Agar sebelum menunggu putusan, pengadilan dapat menghapus konten-konten yang beredar, Kominfo punya kemampuan untuk hal ini," ujar Christina.
Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, pasal tersebut menjadi perdebatan oleh pihaknya. Pasalnya dokumen atau informasi elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam kasus kekerasan seksual, tetapi hal tersebut tak boleh bertambah atau berkurang.
"Lalu bagaimana how to prove? prinsip barang bukti itu kan tidak boleh berkurang, tidak boleh bertambah. Kalau konten pornografi itu dihapus, gimana buktikan," ujar Eddy.
Ia juga menjelaskan, salinan konten pornografi tidak bisa dikatakan sebagai barang bukti. Sebab konten tersebut adalah material evidence dan Pasal 38 berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan bahwa jaksa adalah pihak yang melakukan pengawasan terhadap multimedia.
Dijelaskan dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai barang bukti yang dapat disita, yaitu benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
"Copy itu bukan barang bukti, material evidence. Ini kita berbenturan," ujar Eddy.
Anggota Baleg Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengamini bahwa penghapusan konten yang merupakan barang bukti akan mempengaruhi proses pembuktian. Namun, ia mengusulkan agar konten tersebut tak dapat diakses oleh publik.
"Jadi (kontennya) masih ada, tapi tidak siapapun bisa mengakses. Kecuali penyidik dan penuntut umum," ujar Taufik.
Mendengar usulan Taufik, Eddy mengatakan bahwa pihaknya akan berkontemplasi terlebih dahulu terkait penghapusan konten pornografi ini. Menurutnya, perlu ada pasal tambahan sebelum Pasal 38 tersebut.
"Kami setuju menambah ayat baru, dalam arti konten ini di-hold agar tidak dapat diakses. Jadi kami usulkan ada pasal pendahuluan sebelum Pasal 38," ujar Eddy.