Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pertempuran antara Rusia dan Ukraina belum terlihat akan berakhir. Moskow masih mengepung Mariupol, dan tentara Ukraina tak mau menyerah begitu saja. Pun di berbagai kota lain seperti di Irpin atau di Kharkiv, serangan dan balasan masih cukup sengit.
Upaya negosiasi yang dilakukan antara utusan Rusia dan Ukraina juga masih jauh dari kata sepakat. Putin ingin agar Kyiv netral dan tidak merapat ke Barat. Tapi sebaliknya Ukraina masih memiliki hasrat untuk bergabung bersama negara Eropa lainnya.
Putin memang mempunyai alasan tersendiri mengapa ia bersikeras meminta agar Kyiv tak menjadi bagian Barat. Salah satu paling mendasar adalah posisi kedua negara yang sangat berdekatan. Jika Ukraina menjadi bagian dari NATO, maka Moskow akan sangat terancam.
Namun bagaimana pun upaya titik tengah harus dicapai oleh kedua belah pihak. Mediasi harus dilakukan tidak hanya antara Rusia dan Ukraina secara langsung, tapi juga bisa melalui pihak ketiga.
Baca juga : Ukraina Tolak Lanjutkan Negosiasi dengan Rusia Jika Pembicaraan Digelar di Belarusia
Selama ini pemimpin negara yang terbilang aktif dalam upaya meredakan konflik di antaranya seperti Presiden Prancis Emanuel Macron, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden China Xi Jinping.
Macron diketahui lebih dari tiga kali menghubungi Macron sejak perang pecah pada 24 Februari. Belakangan ia dikabarkan akan menghubungi Putin lagi untuk melobi agar perang dapat dihentikan.
Presiden Recep Tayyip Erdogan juga melakukan percakapan langsung dengan Vladimir Putin. Turki mengakui siap memediasi konflik yang bertikai. Mereka juga siap menjadi tuan rumah pembicaraan langsung antara Putin dan Presiden Ukraina Zelensky. Dua kota yakni Istanbul dan Ankara siap menjadi lokasi diskusi. Di satu sisi, Turki juga tetap membangun kontak secara langsung dengan Ukraina.
Sementara Presiden China Xi Jinping juga sempat menghubungi Presiden Rusia Vladimir agar mau bernegosiasi dan menghentikan perang. Seperti diketahui Rusia dan China selama ini memiliki hubungan spesial karena sama-sama mendapat tekanan dari Barat.
Baca juga : Rusia: Kiev Berusaha Ganggu Pembicaraan Damai dengan Provokasi Bucha
Presiden Indonesia Joko Widodo, sejatinya juga bisa melakukan peran yang cukup strategis dalam upaya negosiasi ini. Apalagi Indonesia menduduki kursi Presidensi G20 pada tahun ini. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, Inggris, dan Jerman di bawah koordinasi RI.
Indonesia bisa memanfaatkan posisi itu untuk berkomunikasi langsung dengan kelompok-kelompok yang bertikai. Memang, Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi sudah menghubungi Menlu Rusia. Indonesia juga sudah mengambil sikap di PBB. Namun tentu hal itu belum lah cukup. Karena penentu kapan perang akan selesai sangat bergantung dari Preisden Putin. Dan itu hanya bisa dilakukan antarkepala negara.
Presiden Jokowi sejatinya bisa menghubungi langsung Putin atau membuka komunikasi dengan Presiden AS Joe Biden yang masih punya pengaruh kuat. Presiden juga bisa saling kontak dengan Presiden China, Turki atau India untuk mencari kerangka yang sama untuk ditawarkan dalam perundingan Rusia dan Ukraina. Karena bagaimana pun Indonesia punya kepentingan agar konflik ini dapat mereda.
Indonesia sebenarnya sudah punya posisi yang jelas dalam konflik ini. Pertama, pemerintah ingin agar perang ini dihentikan. Kedua, pemerintah cenderung berhati dalam menggunakan diksi atau langkah yang bisa membuat situasi semakin runyam. Pemerintah tentu tidak ingin dianggap sebagai pro-Barat. Oleh karenanya, dalam berbagai pernyataan, pemerintah sangat menghindari kata-kata kecaman atau tekanan terhadap pemerintah Rusia.
Baca juga : Sidang Isbat Disebut Dihadiri Perwakilan Muhammadiyah, Ini Respons Abdul Mu'ti
Belakangan ini juga muncul wacana dari kelompok negara Barat agar Rusia dikecualikan dalam G20. Mereka tak ingin Moskow hadir dalam pertemuan di Bali. Namun Indonesia menolak permintaan itu. Pemerintah sebagai tuan rmah bersikap netral dan tetap mengundang negara mana saja yang masuk G20, termasuk Rusia. Langkah ini sudah tepat, dan sejalan dengan kerangan politik bebas aktif yang kita anut.
Namun sekali lagi, dengan posisi Presidensi G20 yang sangat strategis, Indonesia semestinya bisa bermain lebih aktif lagi dalam penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina.