Sabtu 02 Apr 2022 00:15 WIB

Pengamat: Kenaikan Harga Pertamax Sulit Dihindari

Penentuan harga pertamax disesuaikan dengan mekanisme pasar.

Red: Teguh Firmansyah
Petugas mengisi bensin Pertamax untuk pengendara motor di Jakarta, Kamis (31/3/2022). PT Pertamina (Persero) akan memberlakukan tarif baru BBM jenis Pertamax menjadi Rp 12.500 pada 1 April 2022.  Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika
Petugas mengisi bensin Pertamax untuk pengendara motor di Jakarta, Kamis (31/3/2022). PT Pertamina (Persero) akan memberlakukan tarif baru BBM jenis Pertamax menjadi Rp 12.500 pada 1 April 2022. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM)Fahmy Radhi menilai keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak nonsubsidi jenis Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp12.500 per liter sudah tepat. Kenaikan itu tidak bisa dihindari mengingat harga minyak dunia yang melambung tinggi.

"Harga Pertamax harus dinaikkan mengingat harga minyak dunia sudah mencapai 130 dolar AS per barel. Jika tidak dinaikkan beban Pertamina semakin berat, penaikkan harga Pertamax pada 1 April sudah tepat," ujarnya  di Jakarta, Jumat (1/4/2022).

Baca Juga

Fahmy mengatakan penetapan harga Pertamax semestinya ditentukan oleh mekanisme pasar. Oleh karena itu, harga yang ideal adalah sesuai dengan harga keekonomian. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga keekonomian atau batas atas harga Pertamax akan lebih tinggi dari Rp14.526 per liter, bahkan bisa jadi sekitar Rp16.000 per liter.

Harga minyak mentah bulan Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari membuat harga keekonomian Pertamax melambung.Pemerintah Indonesia menilai krisis geopolitik yang terus berkembang sampai saat ini mengakibatkan harga minyak dunia melambung tinggi di atas 100 dolar AS per barel.

Situasi itu lantas mendorong harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) per 24 Maret 2022 tercatat 114,55 dolar AS per barel atau melonjak hingga lebih dari 56 persen dari periode Desember 2021 yang sebesar 73,36 dolar AS per barel.

Lebih lanjut Fahmy menyampaikankenaikan harga Pertamax itu memang memicu inflasi, tetapi kontribusinya kecil lantaran proporsi konsumen hanya sekitar 14 persen. Ia pun meminta agar Pertamina tidak menaikkan harga Pertalite karena bahan bakar minyak bersubsidi ini punya proporsi konsumen paling dominan hingga 83 persen, sehingga apabila harga Pertalite naik bisa menyulut inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Fahmy memandang bahwa konsumen Pertamax adalah golongan menengah ke atas yang menggunakan kendaraan mahal, sehingga mereka tidak akan migrasi ke Pertalite yang harga ya lebih murah.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno melalui akun Twitter-nya berpendapat bahwa kenaikan harga Pertamax yang resmi berlaku hari ini adalah sebuah keniscayaan, karena tidak mungkin bahan bakar minyak untuk masyarakat menengah ke atas ikut menjadi beban pemerintah.Ia pun meminta pemilik kendaraan bagus dan pakaian keren untuk tidak mengisi bahan bakar minyak jenis Pertalite yang disubsidi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement