REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pertamina mengklaim stok bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi untuk daerah Sumatra Barat (Sumbar) aman untuk dua pekan ke depan terhitung Jumat (1/4/2022). Stok solar mencapai 22 ribu kiloliter.
"Stok solar bersubsidi untuk wilayah Sumbar saat ini tersedia untuk 18 hari dengan jumlah mencapai 22 ribu kiloliter," kata Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution, usai mengunjungi sejumlah SPBU di Padang, Jumat.
Ia mengatakan jumlah kebutuhan solar subsidi Sumbar pada saat ini rata-rata di angka 1.250 kiloliter per hari. Sementara kuota per hari yang disiapkan pada kondisi normal adalah sekitar 1.120 kiloliter per hari.
Dalam beberapa hari terakhir karena adanya kelangkaan subsidi hingga menyebabkan antrean panjang di Sentra Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) maka Pertamina menambah pasokan. "Bahkan tercatat dalam dua hari terakhir ada penambahan kuota menjadi 1.400 kiloliter per hari, ini merupakan penambahan kuota terbanyak yang dilakukan demi memenuhi kebutuhan masyarakat," jelas Sales Area Manajer Pertamina Sumbar I Made Wira Pramarta.
Selain solar, Pertamina juga mengklaim stok untuk kebutuhan BBM jenis Pertalite juga aman untuk lima hari ke depan di angka 5.000 kiloliter. Hal yang sama juga diklaim terhadap jenis Pertamax yang memiliki stok untuk kebutuhan empat hari ke depan di angka empat ribu kiloliter.
Alfian Nasution menegaskan pihaknya akan terus berupaya memenuhi kebutuhan BBM masyarakat, terutama untuk solar bersubsidi yang dikeluhkan langka dalam beberapa bulan terakhir. Namun Pertamina mengharapkan dukungan pengawasan dari berbagai pihak terkait agar penyaluran solar bersubsidi itu tepat sasaran.
Ia mengatakan dalam seminggu terakhir Pertamina telah menambah pasokan secara perlahan hingga lima persen dari kuota normal, bahkan di hari tertentu mencapai 10 persen demi memenuhi kebutuhan.
Pertamina berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan solar bersubsidi di Sumbar dengan catatan harus dibarengi dengan pengawasan bersama di lapangan. Hal itu mengingat disparitas harga antara solar bersubsidi dengan non subsidi yang cukup tinggi hingga lebih Rp 8.000 per liter, sehingga rawan penyimpangan.
Menurutnya kalau pengawasan tidak dilakukan secara maksimal dan ketat maka penambahan kuota yang dilakukan akan percuma karena akan tetap terjadi kekurangan stok.