REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimah (PP Salimah) menggelar webinar nasional bertajuk "Hukum Pernikahan Beda Agama di Indonesia". Acara yang diselenggarakan secara daring pada Sabtu (2/4) diikuti oleh pengurus Salimah seluruh Indonesia dan perwakilan Salimah luar negeri serta masyarakat umum.
Webinar yang membahas perkawinan beda agama menampilkan pembicara nasional Kiyai Kholil Nafis (Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah), Neng Djubaedah (Pakar Hukum Islam FHUI), dan Evi Risna Yanti (Konsultan Legal PP Salimah).
Ketua Umum Salimah, Etty Praktiknyowati menyampaikan bahwa webinar ini bertujuan agar masyarakat, khususnya perempuan, anak dan keluarga Indonesia terjaga dari kehilangan nilai-nilai dasar kehidupan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, ia berharap agar pengurus Salimah berperan aktif mensosialisasikan hukum pernikahan beda agama di Indonesia.
"Nilai paling mendasar adalah nilai keimanan dan ketaqwaan serta maqhosid syariah. Dan pernikahan adalah perintah Allah yang merupakan ibadah. Ibadah akan mengantarkan pada ketaqwaan," pesan Etty dalam sambutan.
Seperti diketahui, bulan ini Indonesia ramai dengan viralnya foto pemberkatan di sebuah gereja di Semarang antara seorang wanita berhijab dan seorang pria non-Muslim. Dalam keterangan foto disebutkan bahwa pemberkatan di gereja dilanjutkan dengan akad nikah.
Hal ini bukan kejadian pertama di Indonesia. Dalam berita media sosial tersebut dikatakan bahwa ini adalah perkawinan ke 1.424 yang mereka fasilitasi.
Pakar hukum Islam FHUI, Neng Djubaedah menjelaskan bahwa perkawinan beda agama merupakan hal yang dilarang dalam Islam. Hal ini mengacu pada tafsir Al Qur'an yang dikeluarkan oleh para ulama besar seperti Buya Hamka, Quraish Shihab, MUI, Jalalain, dan lain-lain.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Pernyataan tersebut diamini oleh Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, K.H. Cholil Nafis.
"Perempuan Islam tidak sah dan haram menikah dengan laki-laki musyrik. Dan laki-laki Islam tidak sah dan haram menikah dengan perempuan musyrik. Hukum ini merupakan mutafaq alaih. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hukum ini. Karena itu, tidak bisa atas nama kemanusiaan, lalu membiarkan anak cucu kita masuk dalam murka Allah," tegas Kiyai Cholil.
Ada perbedaan pendapat tentang hukum laki-laki Islam menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Misalnya, Imam Syafi'i membolehkan muslim menikahi wanita yang masih menyembah Allah yang memiliki syariat yang berbeda.
"Untuk mengatasi perbedaan pendapat ini, para ulama bersepakat bahwa hukumnya adalah haram bagi muslim laki-laki menikah dengan perempuan Yahudi maupun Nasrani yang memiliki kitab suci mereka sendiri," imbuh Kiyai Cholil.
Selanjutnya, Konsultan Legal PP Salimah, Evi Risna Yanti, menyampaikan beberapa peraturan perundang-undangan terkait hukum pernikahan beda agama. Di antaranya, pasal 13 ayat 1 UUP yang mengatur bahwa perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
"Berdasarkan pasal 16 ayat 1 UUP, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan/syarat Undang-Undang ini tidak dipenuhi," ujarnya.
Namun, ada perlindungan hukum untuk anak dari pernikahan yang tidak sah. "Anak tidak boleh merasa bersalah. Sebab, Islam tidak membebani anak akibat dosa yang dilakukan oleh orang tua," jelas Neng Djubaedah.