REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan di Keraton Kasepuhan Cirebon kembali semarak. Selama dua tahun dilanda pandemi Covid-19, berbagai tradisi di keraton itu sebelumnya harus dilakukan secara terbatas bahkan adapula yang ditiadakan.
Tradisi menyambut Ramadhan itu diawali dengan dlugdag. Yakni, penabuhan bedug berusia ratusan tahun di Langgar Agung Keraton Kasepuhan sebagai penanda masuknya bulan suci Ramadhan.
Keraton Kasepuhan mengikuti ketentuan pemerintah dalam penetapan waktu datangnya bulan suci Ramadhan. Karenanya, setelah pemerintah mengumumkan Ramadhan dimulai pada Ahad (3/4), tradisi dlugdag pun digelar pada Sabtu (2/4) sore, usai sholat Ashar.
Penabuhan bedug diawali oleh Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Gumelar Suryadiningrat, selama beberapa menit. Setelah Patih Sepuh, penabuhan bedug dilanjutkan oleh penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan, KH Jumhur dan sejumlah kerabat keraton.
Bedug yang ditabuh dalam tradisi dlugdag itu sudah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati. Penabuhan bedug diawali dengan bacaan Basmallah, zikir maupun sholawat. Begitu pula selama penabuhan bedug itu berlangsung.
"Alhamdulillah, kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, kita memasuki bulan suci Ramadhan," ujar Patih Sepuh.
Patih Sepuh menjelaskan, dlugdag terus dilestarikan di Keraton Kasepuhan sebagai tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Maknanya, sebagai seorang muslim, harus menyambut datangnya bulan yang penuh berkah dan ampunan.
Selain dlugdag, lanjut Patih Sepuh, tradisi yang dilakukan di Keraton Kasepuhan selama Ramadhan juga ada tadarusan. Kegiatan membaca Alquran itu dilakukan setiap malam setelah selesai sholat tarawih.
Selama ini, kegiatan tadarusan akan mengkhatamkan Alquran dalam waktu 15 malam. Dengan demikian, selama bulan Ramadhan, khataman dilakukan dua kali.
"Dan di malam likuran (sepuluh malam terakhri bulan Ramadhan), ada tradisi maleman," uajr adik dari almarhum Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat itu.
Tradisi maleman ditandai dengan penyalaan dlepak dan pembakaran ukup setiap malam tanggal ganjil bakda Maghrib. Dlepak merupakan piring yang terbuat dari tembikar dan diisi dengan minyak maleman untuk menyalakan sumbu dari kapas yang sudah dipilin.
Minyak maleman itu terbuat dari minyak kelapa yang digodok kembali dengan tambahan kembang tujuh rupa. Karenanya, minyak tersebut akan menyebarkan aroma yang sangat harum saat sumbu dinyalakan.
Sedangkan ukup adalah wewangian yang dibuat dari campuran pohon cendana, akar wangi, kayu-kayuan wangi, rempah-rempah, yang dicacah dan disangrai dengan gula merah. Untuk membakarnya, ukup cukup ditebarkan di atas bara api yang dinyalakan di dalam dupa.
Perangkat tersebut kemudian dibawa dengan menggunakan gerbong dari Keraton Kasepuhan ke Astana Gunung Jati. Dlepak itu akan dinyalakan setiap malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
"Intinya, menyambut datangnya malam lailatul qodar," tukas Patih Sepuh.
Patih Sepuh mengungkapkan, selama dua tahun terakhir, pihaknya mentaati anjuran pemerintah terkait penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Karenanya, berbagai tradisi dilakukan secara terbatas bahkan ada yang ditiadakan supaya tidak menimbulkan kerumunan.
"Insya Allah tahun sekarang kami akan melaksanakan tradisi-tradisi yang saat itu (pandemi) tidak kami laksanakan," tukas Patih Sepuh.
Selain tradisi sepanjang Ramadhan, Keraton Kasepuhan juga memiliki berbagai tradisi di hari raya Idul Fitri. Selain sholat Idul Fitri di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dan Langgar Agung, juga ada penabuhan gamelan sekaten dan open house. Pada 2020, tradisi-tradisi lebaran itu ditiadakan menyusul adanya penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Cirebon.