Senin 04 Apr 2022 07:32 WIB

Tim Advokasi Kritisi Lambatnya Penuntasan Kasus Kerangkeng Manusia

Tim advokasi mengkritik lambatnya penuntasan kasus kerangkeng manusia di Lahat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Penyidik Polda Sumut melakukan pemeriksaan terhadap Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin dalam kasus kerangkeng manusia pada Jumat (1/3) di gedung KPK. Tim advokasi mengkritik lambatnya penuntasan kasus kerangkeng manusia di Lahat.
Foto: Dok Polda Sumut
Penyidik Polda Sumut melakukan pemeriksaan terhadap Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin dalam kasus kerangkeng manusia pada Jumat (1/3) di gedung KPK. Tim advokasi mengkritik lambatnya penuntasan kasus kerangkeng manusia di Lahat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP HAM) kembali mendesak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memberikan atensi terhadap kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.

Anggota TAP HAM dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Gina Sabrina menyayangkan penolakan laporan timnya pada Kamis (31/3). Penolakan tersebut dijelaskan SPKT Bareskrim lantaran ada laporan kasus ini ke Polda Sumut. Kasus ini pun tengah masuk dalam proses penyidikan.

Baca Juga

"Bareskrim sepertinya enggan menindaklanjuti dan memberi atensi kasus ini. Kami punya fakta baru yang tidak diungkapkan untuk semakin membantu dan kasih petunjuk kepada kepolisian untuk teruskan proses hukum yang berjalan guna penetapan tersangka aktor intelektualnya," kata Gina dalam konferensi pers daring pada Ahad (3/4/2022).

TAP HAM mulanya optimis Bareskrim Polri bisa memberi perhatian pada kasus ini. Apalagi kasus ini punya gesekan kuat dengan kekuasaan karena pelakunya kepala daerah.

"Kenapa kami lapor ke Bareskrim? Tentu langkah ini didasari beberapa hal yaitu proses hukum yang sedang berjalan tidak akomodir hak korban, termasuk pasal yang disangkakan bahwa sebenarnya tersangka ini bukan aktor intelektual, hanya aktor lapangan," ujar Gina.

Gina pun menyayangkan Polda Sumut hanya mengenakan pasal tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saja kepada para tersangka. Padahal ia meyakini mereka bisa dijerat pasal lain.

"Pasal-pasal penganiayaan karena menimbulkan dampak psikis, fisik dan kematian korban. Sehingga kami laporkan dengan tambahan dugaan pasal," ujar Gina.

Selain itu, Gina mengungkapkan keganjilan dalam proses hukum kasus ini di Polda Sumut. Pertama, penanganan kasus ini menurutnya sangat lambat walau sudah menarik publik nasional. Kedua, penetapan tersangka, lanjut dia, hanya menyasar aktor lapangan atau pendukung saja.

"Polda Sumut tidak ungkap aktor intelektulal padahal mereka yang memerintahkan eksploitasi dan kekerasan," ucap Gina.

Gina juga menyinggung pertimbangan subjektif Polda Sumut karena tidak menahan para tersangka. Ia khawatir para tersangka melenyapkan barang bukti kejahatannya.

"Tidak ada penahanan merupakan suatu keanehan. Padahal tidak ditahannya ini bisa hilangkan bukti kejahatan. Mereka dipulangkan ke rumah masing-masing," tutur Gina.

Sebelumnya, Polda Sumut terus melakukan pemeriksaan terhadap 8 tersangka kasus kerangkeng manusia sejak penetapan status tersangka pada Senin (21/3). Namun mereka melengang bebas tak ditahan dengan dalih kooperatif selama ini.

Delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus kerangkeng manusia adalah HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG, dan SP. DP terkonfirmasi sebagai anak TRP yaitu Dewa Perangin Angin.

Tersangka yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam proses TPPO ada 7 orang yaitu HS, IS, TS, RG, JS, DP, dan HG. Sedangkan tersangka penampung korban TPPO ada 2 orang inisial SP dan TS. Akibat perbuatannya, para tersangka diancam hukuman 15 tahun penjara.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement